Seorang anak dari keluarga terhormat harus lahir di sebuah tempat pelacuran. Bahkan, mereka yang oleh masyarakat dianggap terhormat ternyata tidak lebih hina daripada pelacur yang menjajakan diri untuk para lelaki hidung belang.Â
Orang-orang yang digambarkan terhormat itu lebih hina karena menjajakan bisnis haram yang mengakibatkan rusaknya satu generasi. Begitulah kiranya gambaran tentang film India berjudul Jeet yang rilis tahun 1996. Film ini dibintangi oleh beberapa deret nama beken seperti Sunny Deol, Salman Khan, Karishma Kapoor dan Tabu.Â
Sekilas, mungkin apa yang penulis bahas dalam film ini terkesan jauh dengan tema dan judul yang dibawa. Namun, Jeet secara tidak langsung menyisipkan pesan tentang memandang seseorang tidak dari pekerjaan dan status sosial melainkan dari bagaimana mereka berlaku terhadap sesama manusia. Karena manusia semua sama posisi dan derajatnya di hadapan Tuhan. Ajaran itu merupakan salah satu yang ingin disampaikan dalam dunia sufi.Â
Berbicara soal Sufi maka salah satu ajaran yang cukup terkenal adalah Wahdatul Wujud atau yang biasa orang Jawa bilang sebagai Manunggaling Kawulo Gusti. Dianalisa dari perspektif kebatinan sebagaimana diajarkan beberapa nama sufi terkenal baik Mansour Al Hallaj ataupun Syekh Siti Jenar, maka Wahdatul Wujud kerap dianggap sebagai ajaran bersatunya antara makhluk dengan sang kholik atau pencipta.Â
Penulis tidak ingin terjebak dalam perdebatan apakah ajaran itu sesuai dengan ajaran agama atau tidak, namun sepanjang penulis mempelajari hal tersebut, ajaran Manunggaling Kawula Gusti dalam perspektif rohani adalah pengalaman ibadah pribadi yang mungkin saja tidak bisa ditempuh oleh semua orang lantaran ada perbedaan maqom dalam perjalanan spiritualnya.Â
Namun, dimensi ajaran Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya pada sektor spiritual hubungan antara manusia dengan Tuhan, namun ajaran ini juga menjadi sebuah ajaran pembebasan dari penindasan dan kesamaan antara umat manusia tanpa terhalang sekat ras, suku, agama, dan bahkan status sosial.Â
Mansour Al - Hallaj misalnya, dalam sebuah buku berjudul Mystical Dimension of Islam karangan Schimmel dijelaskan tidak menaruh ajarannya sebatas di "langit", namun sang sufi juga " Membumikan" Ajaran itu untuk melawan pemerintahan yang terlalu mencengkeram rakyatnya.Â
Al - Hallaj dituliskan oleh Schimmer berteman oleh kalangan oposisi untuk melawan pemerintah Baghdad yang kala itu semena-mena dalam menarik pajak kepada warga. Ajaran sufistik Al-Hallaj yang berpihak pada kaum yang lemah dikhawatirkan bisa membalikkan struktur sosial politik yang ada kala itu, sehingga wajar jika akhirnya Al - Hallaj harus wafat di tangan pemerintah dengan tuduhan menghina Tuhan.Â
Sama seperti Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar atau yang akrab disapa Syekh Lemah Abang tak hanya mengajarkan Manunggaling Kawula Gusti yang bersifat spiritual, namun juga membumikan ajaran tersebut untuk memudarkan sekat antara penduduk biasa dengan penduduk yang masih memilki afiliasi kepada kerajaan.Â
Menurut Agus Sunyoto baik dalam buku Atlas Wali Songo maupun buku Suluk Siti Djenar yang dibuat 7 bab itu, menceritakan jika salah satu peninggalan terbesar Syekh Siti Jenar adalah terciptanya kata "masyarakat" yang diambil dari Bahasa Arab yakni "musyarokah" yang kurang lebih artinya adalah akad atau persetujuan bersama. Konsep masyarakat ini dikenalkan oleh Syekh Siti Jenar kepada penduduk sebagai upaya untuk memutus perbedaan antara antara rakyat kelas bawah dan rakyat yang berafiliasi dengan Kerajaan pada zaman itu.Â