Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Munculnya Kata "Guyon" dan "Iseng" dalam Kasus Perundungan Siswa yang Cukup Mengganggu

15 Februari 2020   05:24 Diperbarui: 16 Februari 2020   11:25 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga melakukan tindakan yang tak jauh beda. Ia menyarankan kepada yayasan agar Kepala Sekolah tempat dimana siswi dirundung itu menuntut ilmu harus diberhentikan.

Lebih dari itu, Ganjar Pranowo juga mengusulkan agar SMP itu dilebur dengan sekolah yang lebih besar. Ia juga menyarankan agar para siswa pelaku perundungan tidak dikenai pidana, melainkan mengikuti pelatihan militer atau kerja sosial di lembaga penyandang disabilitas. Ide itu muncul, karena siswi korban perundungan penyandang disabilitas.

Dua kata "Guyon" dan "Iseng" yang terlanjur memantik amarah publik sudah tidak bisa ditarik kembali. Ia sudah terucap dan ada jejak digitalnya. Amarah publik akan dua kata dalam dua kasus perundungan itu bisa dianalisa dari beberapa segi.

Penulis berpandangan kata "guyon" dan "iseng" sengaja dilontarkan agar tensi publik mereda usai mengetahui kasus itu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka marah. Penyebabnya, kasus perundungan yang berujung pada kekerasan fisik seolah hanya dianggap "guyon" atau "iseng" semata.

Bagaimana dianggap "guyon" jika perilaku perundungan itu menyebabkan seorang siswa harus kehilangan dua jari dan cacat seumur hidup? Atau bagaimana disebut "iseng" jika ada dua laki-laki menendang cewek perilaku disabilitas?

Lagi-lagi penulis berpandangan jika buruknya komunikasi publik para pemangku kebijakan dalam kasus ini, kepala dinas dan kepala sekolah, justru menambah panas suasana. Makin memancing emosi dan membuat warga naik pitam.

Jika belajar dari kasus di Kota Malang, maka harusnya kepala sekolah tidak SMP di Purworejo itu mengeluarkan statemen ke publik secara baik dan hangat. Statemen yang menegaskan jaminan kejadian serupa tidak akan terjadi kembali dan akan menindak pelaku perundungan dengan tegas.

Harus diakui, kasus perundungan yang terjadi di dia sekolah itu dikarenakan pengawasan internal yang lemah. Itulah sebabnya beberapa lembaga termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar dipasang CCTV pada tiap sekolah.

Selain itu, peran guru sebagai orang tua di sekolah juga perlu diperkuat. Itulah kenapa, ada penggabungan nomenklatur antara pendidikan dan kebudayaan dalam kementerian atau dinas.

Tujuannya, agar para siswa tidak saja pintar secara akademik, namun akhlak, mental dan "unggah-ungguh" mereka juga harus diasah sedari dini. Hal itu juga harus disambut baik para orang tua murid, yang juga tidak terlalu "lebay" jika buah hatinya diberi pengertian oleh guru.

Banyak kasus di mana guru yang sedang memarahi murid dengan tujuan untuk mendidik, malah berujung pidana, lantaran orang tua siswa tidak terima anaknya diperlakukan begitu. 

Artinya, jika pemikiran ini masih menancap, maka juga akan sulit mengkolaborasikan dua skema pendidikan untuk melatih akhlak anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun