Indonesia memang menganut azas monogami. Tapi, tidak menutup kemungkinan seseorang untuk menjalani kehidupan berpoligami. Ada tata cara tersendiri dalam berpoligami secara sah dan perkawinannya dicatat oleh negara. Banyak contoh yang dipublikasikan media massa terkait poligami ini. Wakil rakyat kita saja, di DPR RI ada yang secara sah berisitri lebih dari satu.
Lalu apakah bagi pasangan yang hendak poligami, masih perlu ikut sertifikasi? Apakah materinya sama dengan mereka yang hendak menikah? Atau ada materi tambahan? Bahkan, bisa juga nanti ada sertifikasi nikah bagi pasangan yang hendak poligami. Pertanyaan yang sama juga bagi pasangan isbat atau juga janda atau duda yang hendak kembali mengarungi rumah tangga.
Atau misalnya begini, apakah sertifikasi ini hanya diikuti sekali saja seumur hidup seperti kita membuat Kartu Tanda Penduduk? Jika ada pasangan cerai lalu menikah lagi tak harus ikut lagi sertifikasi atau jika ada pasangan yang hendak poligami, misalnya maka ia tinggal menunjukkan sertifikasi nikah lama yang sudah dimilikinya?
Saya berharap jika memang aturan ini disahkan, maka tidak terjebak pada sifatnya yang formal belaka. Tapi lebih substantif lagi. Mencegah kekerasan dalam rumah tangga, meminimalisir tindakan perselingkuhan, menegaskan kewajiban suami dalam menafkahi wanita dan kewajiban istri dalam rumah tangga perlu diformulasikan lebih substansial.
Asal dapat sertifikasi, lalu bisa menikah, dan tidak mendalami materi secara substantif juga akan menjadi dampak negatif. Misalnya saja, pasangan suami istri mendapat  sukses memperoleh sertifikasi nikah. Dalam perjalanannya, ternyata sang suami digugat cerai istrinya lantaran suka main tangan. Apakah lalu lulus sertifikasi menjamin hal itu?
Lagi-lagi niat baik Menteri PMK soal sertifikasi itu jangan sampai dikalahkan atau terjebak pada skala yang sifatnya adminsitratif belaka. Ia harus masuk pada ranah substansinya.
Hal lain selanjutnya yang perlu ditelaah adalah kesiapan. Baik penyelenggara negara maupun masyarakatnya. Apakah warga Indonesia sudah siap dengan syarat perkawinan harus menyertakan sertifikasi nikah? Dampak apa yang nanti timbul dari sertifikasi tersebut?
Misalnya, pada masyarakat yang masih memegang erat kebudayaan. Dimana warga masih percaya hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Lantaran proses sertifikasi nikah yang memakan waktu cukup lama, hingga sampai melewati batas waktu hari baik yang sudah dihitung oleh ahlinya, juga akan menimbulkan permasalahan di lapangan.
Gagal nikah karena hari baik sudah terlewati dan penyebabnya adalah proses sertifikasi yang memakan waktu, bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi dengan baik.
Karenanya, ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan dan mendapat kajian sebelum kebijakan dilontarkan kepada publik. Saya berharap, sebelum kebijakan ini disahkan dan dijalankan, maka secara teknis harus dipikirkan dengan baik.
Sebagaimana saat Muhadjir Effendy menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ada kebijakan sistem zonasi agar pendidikan bisa merata di suatu daerah. Kota Malang, adalah daerah yang menerapkan kebijakan ini secara total. Hasilnya, banyak aduan.