Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bahkan untuk Jembatan yang Mau Roboh Tak Dianggarkan oleh Pemerintah Daerah

13 November 2019   21:10 Diperbarui: 13 November 2019   21:12 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Muharto (Foto: Istimewa)

Miris. Begitulah satu kata yang tertancap dibenak saya, ketika melihat nasib ribuan nyawa tergantung di atas jembatan yang kekuatannya tinggal 40 persen saja. Lokasi jembatan itu, bahkan dekat dengan permukiman masyarakat kurang mampu.

Namun, lagi-lagi apa daya, pemerintah daerah tidak menganggarkannya di APBD Tahun 2020 mendatang. Mereka malah sibuk mempertahankan bangunan megah 8 lantai untuk kebutuhan mengembangkan ekonomi kreatif.

Begitulah kiranya, gambaran umum yang terjadi di Kota Malang saat ini. Jembatan Muharto, yang berada di kawasan Kecamatan Kedung Kandang, kondisinya makin mengkhawatirkan dari hari ke hari.

Usai Pemerintah Kota Malang mengumumkan kepada publik bahwa jembatan itu daya tahannya sudah berkurang 60 persen, langkah pertama yang dilakukan adalah membangun portal atau pembatas jalan. Tujuannya, agar tidak ada kendaraan besar macam truk, bus dan sebagainya melintas di atasnya, mengingat daya kekuatan jembatan.

Jembatan Muharto (Foto: Istimewa)
Jembatan Muharto (Foto: Istimewa)

Sejak portal pertama dipasang, terhitung sudah 14 kali diganti, karena remuk tertabrak kendaraan besar. Bak tambal sulam, usai Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Perhubungan, kembali memasang portal jembatan, lagi-lagi esoknya sudah tumbang karena tersambar kendaraan besar.


Intinya, bukan itu yang bikin masyarakat mengelus dada. Tetapi, tak ada anggaran untuk merenovasi total jembatan yang tiap hari dilewati ribuan orang tersebut. Bukan tak ada uangnya. Tapi "Tidak dianggarkan di dalam APBD Tahun 2020". Sengaja saya ulang kalimat tersebut, agar mewakili perasaan resah warga Kota Malang, khususnya yang tiap hari melintas di lokasi tersebut.

Jika hari ini ramai-ramai bahas aksi terorisme yang mengancam ratusan bahkan ribuan nyawa. Pembiaran akan jembatan yang sudah rapuh itu, menurut saya juga termasuk aksi teror. Mengancam nyawa.

Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, Fathol Arifin, kepada media massa mengatakan, untuk merenovasi total Jembatan Muharto dibutuhkan sebesar Rp 40 miliar. Lantaran tak ada anggaran, Fathol, menjelaskan, jika pada tahun mendatang jembatan itu akan dibangun penyangga agar kuat.

Ploting anggarannya diambilkan dari Dana Tidak Terduga (DTT) yang sudah dianggarkan dalam APBD Tahun 2020. Keputusan itupun, lanjut Fathol, diambil usai Komisi C DPRD Kota Malang meminta bantuan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Akan tetapi, lagi-lagi ajuan itu tertolak.

Di lain pihak, Pemerintah Kota Malang beralasan, jika anggaran untuk merenovasi jembatan tidak bisa dimasukkan dalam APBD karena tidak termasuk dalam  Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Tidak pula bisa dimasukkan dalam Perubahan APBD Tahun 2020 mendatang. Renovasi Jembatan Muharto, baru bisa dianggarkan pada tahun 2021 mendatang.

Pada waktu bersamaan, saat publik resah dengan keberadaan  Jembatan Kedung Kandang, pembahasan di gedung legislatif  juga ramai. Topiknya adalah anggaran untuk Mega Proyek untuk pembangunan Gedung Megah 8 lantai yang diberi nama "Malang Creative Centre". Calon Mahakarya dari Pemkot Malang itu, rencananya menelan anggaran sebesar Rp 185 miliar yang dianggarkan dalam dua tahun. Pada tahun 2020 sebesar Rp 125 miliar dan tahun setelah Rp 60 miliar.

Melihat dua fakta tersebut di atas, mungkin Anda masyarakat di luar Kota Malang bisa merasakan apa yang sedang kami rasakan. Untuk nyawa tak ada anggaran. Bangunan megah digelontor dana ratusan miliar rupiah.

Sebagai warga negara, akhirnya saya harus menelusuri aturan terkait dengan penganggaran. Alasan Pemkot Malang yang mengatakan jika Jembatan Muharto tidak masuk dalam RKPD memang sesuai dengan aturan hukum administrasi. Namun, pertanyaannya adalah, apakah tidak ada celah hukum untuk menganggarkannya?

Apakah ini bentuk kehati-hatian, karena ketika dianggarkan tidak sesuai prosedur maka akan berujung pada pelanggaran administrasi hingga sampai kasus hukum?

Apakah hukum se-kaku itu sehingga kini hingga satu tahun mendatang masyarakat yang melintas harus was-was karena kekuatan jembatan hanya ditambah penyangga saja? Pertanyaan itulah yang kemudian menjejelali otak saya untuk dicarikan jawaban dan solusinya.

Tentu kita masih ingat ketika Presiden RI, Joko Widodo, marah besar karena sistem birokrasi Indonesia yang ruwet menyebabkan investor lari dari Tanah Air. 

Mereka justru menuju negara tetangga seperti Vietnam, dan sebagainya. Rasa marah presiden, bisa saya rasakan ketika prosedur mengalahkan kepentingan besar bersama. Apalagi yang menyangkut nyawa.

Bukan sekali saja presiden marah karena melihat ada ketidakberesan yang ada. Contoh lain, Presiden Joko Widodo juga marah lantaran ada sekolah ambruk di Pasuruan Jawa Timur. Terakhir, Presiden juga naik pitam karena di akhir tahun masih ada tender pekerjaan proyek sekira Rp 31 Triliun.

Kemarahan Presiden RI mari kita renungkan secara substantif. Pemimpin negara ini saja, dengan gagah berani melakukan tindakan tegas jika mengetahui ada hal yang tidak beres terjadi. Sistem administrasi dan tata cara penganggaran sesuai dengan aturan perlu ditegakkan. Tapi lebih dari itu semua, kepentingan masyarakat luas adalah yang utama harus diperjuangkan.

Bahkan, dalam agama saja ketika ada hal yang sifatnya darurat, maka bisa "menabrak" aturan pakem yang sudah diperintahkan. Puasa Ramadan itu wajib. 

Tetapi ketika ada keadaan darurat, semisal seseorang sakit parah, maka puasa itu bisa ditunda di hari yang lain. Dalam kaidah Ushul Fiqh misalnya, kita juga mengenal "Ad dharurot tubikhul mahdurot" yang arti bebasnya kira-kira: "kondisi darurat membolehkan sesuatu yang dilarang".

Atau jika anda menekuni bidang hukum administrasi negara atau hukum tata negara, maka frasa "diskresi" makna substantifnya sama dengan apa yang baru saja saya tulis diatas.

Rancangan APBD  Kota Malang kini sedang tahap evaluasi dari Gubernur Jawa Timur. Agenda itu wajib dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan. Masih ada secercah harapan agar Jembatan Muharto bisa mendapat sentuhan anggaran untuk pembangunan secara total.

Berdasarkan Pasal 112 ayat (4) PP No 12 Tahun 2019, Evaluasi Rancangan APBD yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur, dilakukan untuk menguji kesesuaian dengan patokan empat hal. Yakni, (1) ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi, (2) kepentingan umum, (3) RKPD, KUA dan PPAS serta (4) RPJMD.

Jika pembangunan Jembatan Muharto masih dianggap sifatnya darurat dan mendesak. Maka saya harap ia mewakili "kepentingan umum" yang dimaksud dalam PP tersebut. Jika memang tidak. 

Nampaknya, masyarakat Kota Malang harus bersabar menunggu jembatan itu dibangun pada tahun 2021, sembari "bertaruh nyawa" hanya untuk melintas di atas jembatan saja. Salam.

foto istimewa
foto istimewa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun