"Aku tak sing ngalah
Trimo mundur
Timbang Loro ati"
(Aku saja yang mengalah
Memilih mundur
Daripada sakit hati)
Kira-kira begitulah penggalan lirik lagu berjudul "Suket Teki" yang dilantunkan oleh sang maestro campursari, Didi Kempot. Pria yang kini mendapat julukan "Godfather of Broken Heart" itu lagi digandrungi anak muda.
Lagu-lagu bernuansa patah hatinya seakan melantunkan jiwa kawula muda yang sedang "ambyar" karena kisah percintaannya. Patah hati, saat ini seolah menjadi "perayaan" bersama para anak muda yang sedang dirundung derita dalam kisah asmara.
Sama halnya dengan Didi Kempot, di industri perfilman Bollywood juga ada sosok serupa. Profesinya adalah sutradara. Namanya, Sanjay Leela Bhansali. Hampir seluruh filmnya berkisah tentang cinta yang berakhir merana. Dan Bhansali menikmati membuat karya film dengan gaya seperti itu.
Suatu hari, saya bersama istri menonton film karya Bhansali berjudul "Bajirao Mastani". Film ini settingnya adalah kerajaan dan dibintangi oleh Deepika Padoukone, Ranveer Singh dan Priyanka Chopra.
Awalnya, istri saya menikmati film tersebut. Lalu hingga akhir cerita, istri saya tanpa sebab marah-marah karena cerita filmnya. Bagaimana tidak marah. "Bajirao Mastani" adalah kisah cinta segitiga seorang raja dan dua orang ratu. Sang raja yang sudah memiliki seorang istri ternyata jatuh hati dengan wanita lain pada saat ia pergi berperang. Singkat cerita raja dan wanita yang ditemuinya itu akhirnya menikah. Sang raja punya dua istri.
Alih-alih mencintai sang istri pertama, justru sang raja itu cinta mati dengan istri keduanya. Bahkan, akhir cerita keduanya sama-sama meninggal dunia karena saling mempertahankan cinta tersebut.
Kisah semacam ini membuat istri saya naik pitam, ngomel-ngomel sendiri dan menyalahkan si pembuat film. Kira-kira begitulah gaya Bhansali membikin film.
Jujur saja, hingga kini saya tidak pernah menemukan ada seorang sutradara yang hobi membuat film dengan konsep "sad ending" di dunia industri selain Sanjay Leela Bhansali. Pria 56 tahun itu memang agak sedikit aneh. Sungguh ia bukan sutradara yang menyenangkan. Karena selalu bikin dongkol penontonnya. Meski begitu karya film garapannya selalu ditunggu.
Keahlian "menggerus" hati penonton memang sudah menjadi hobi bagi Bhansali. Beberapa film besutannya seperti Hum Dilde Chukke Sanam, Devdas, Saawariya, Raam-Leela, Bajirao-Mastani hingga terakhir Padmavaat bukanlah film dengan kisah cinta yang berakhir yang bahagia. Bhansali, selalu menutupnya dengan merana, tragis dan sakit. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa "Cinta itu Luka".
Aneh memang membikin film Bollywood dengan akhir "sad ending". Maklum saja penonton di India konon kabarnya lebih suka sang pahlawan mengakhiri kisah dengan bahagia, entah itu di film cinta atau film laga. Tapi Bhansali melawan itu semua. Bahkan, sampai ada seorang aktor yang meminta Bhansali agar mengubah ending cerita menjadi bahagia, bukan tragis dan merana.
Salah satu kisah datang dari Salman Khan. Kala itu ia memainkan peran sebagai "Prem" di film Hum Dilde Chukke Sanam. Saking gemesnya dengan akhir cerita yang ditulis oleh Bhansali dalam film itu, ia sampai meminta Sooraj Bhartya, yang berprofesi sebagai seorang sutradara untuk melobi agar cerita film berubah menjadi bahagia. Hasilnya, usaha Salman Khan gagal total.
Hum Dil De Chukke Sanam mungkin cerita cinta paling menjengkelkan yang pernah dibuat. Film ini pada dasarnya adalah kisah cinta segitiga biasa. Prem yang diperankan Salman Khan dalam film itu menjalin kisah dengan Nandini (Aishwaria Rai). Dalam perjalanannya orang tua Nandini menikahkan putrinya dengan Vaanraj yang diperankan Ajay Devgn. Kisah seperti itu mungkin sudah lazim di perfilman Bollywood.
Tapi di tangan Bhansali kisah itu hasilnya berbeda. Singkat cerita, Nandini yang telah menaruh cinta mati pada Prem meminta kepada suaminya agar mempertemukannya dengan Prem, sehingga mereka berkelana sampai ke Italia untuk mencari pujaan hati dan cinta mati Nandini.
Tapi jangan salah sangka, film ini justru mendapat kritikan positif dari para kritikus film di India dan berhasil memenangkan berbagai award tahun 1999.
Lalu ada lagi film Devdas yang diperankan oleh Shah Rukh Khan dan Aishwaria Rai. Ini film juga kisah cinta yang lumayan menjengkelkan. Karena berakhir cukup tragis dan menyedihkan. Bahkan, di akhir cerita Devdas bahkan tak bisa bertemu dengan kekasihnya saat ia hendak menghembuskan nafas terakhirnya.
Kesedihan film Bhansali berlanjut di Saawariya. Ini adalah film yang menjelaskan tentang pria yang berharap cinta pada seorang wanita. Parahnya, wanita itu sedikit memberikan harapan palsu pada pria tersebut. Akhir film ini ditutup dengan bagaimana seorang cowok yang sudah setia, akhirnya ditinggalkan wanita yang dicintainya karena memilih kembali ke pelukan pria yang diketahui adalah kekasih LDR-nya. Ambyar.
Raam - Leela juga sama, karena ini adalah film yang diangkat dari cerita Romeo - Juliet Shakesphere. Dua film terakhir yakni Bajirao Mastaani dan Padmavaat juga tak menghadirkan ending yang indah sama sekali.
Penasaran, akhirnya saya mencari tahu kenapa si Bhansali ini hobi mengacak-acak perasaan penontonnya lewat film-filmnya. Ya memang, ia selalu menghadirkan layar yang megah, lagu-lagu klasik dan tarian indah dalam filmnya. Tapi semua kemegahan itu pupus karena akhir filmya yang justru meremukkan hati. kemegahan artistik yang dibangunnya dalam film seakan tak ada gunanya.
Dalam sebuah wawancara, Bhansali menegaskan, jika ia membuat film tentang kesedihan, bukan film tentang ketidakbahagiaan. Diplomatis ia mengatakan "Unhappines is destructive, Sadness is a perspective". Kalimat yang menjawab rasa penasaran saya kenapa dia sampai setega itu membuat film yang merontokkan hati.
Jika diamati secara saksama, film-film Bhansali adalah film dengan perspektif baru mengenai kehidupan percintaan. Hum Dil De Chukke Sanam misalnya. Seperti yang sinopsisnya saya sitir di atas.
Pesannya menyebutkan bahwa cinta akan kalah dengan kesetiaan. Apalagi cinta itu hanya sekadar cinta monyet belaka antara seorang pria dan wanita yang tengah dimabuk asmara. Kesetiaan Vanraaj telah menggurkan kesucian cinta Nandini kepada Prem. Begitulah kiranya bahasa masa kini-nya.
Sama juga dengan film Devdas. Di sini Bhansali ingin menunjukkan melalui kesedihan kepada penontonnya agar tidak menjadi pengecut ketika memperjuangkan orang yang dicintainya. Devdas adalah lelaki pengecut yang melepaskan Paro agar dinikahi lelaki lain.
Bahkan ia tidak mampu melawan keluarganya yang tak merestui hubungannya dengan Paro. Sifat pengecut Devdas itu ia alihkan kepada minuman keras. Dan akhirnya dia mati karena imbas dari sifat pengecutnya. Ini perspektif baru di dunia perfilman yang tidak pernah diangkat sineas India. Bahkan atas cerita tragis itu, Devdas sempat masuk nominasi Oscar tahun 2000-an.
Saya selalu menanti film-film terbarunya. Film yang berakhir dengan suasana kesedihan. Seperti kata Bhansali, Kesedihan berbeda dengan ketidakbahagiaan. Kesedihan itu menghadirkan perspektif dan pesan-pesan penguatan jiwa. Ketidakbahagiaan menghancurkan hidup seseorang. Sedih tak sama dengan ketidakbahagiaan.
Patah hati adalah kesedihan. Bukan ketidakbahagiaan. Patah hati kadang membuat orang semakin kuat menatap masa depan. Sedangkan ketidakbahagiaan melahirkan sikap pesimis dan menyuramkan.
Pesan ini sebenarnya juga sama dengan lagu-lagu Didi Kempot. Ia hanya menyuarakan kesedihan yang mengandung kekuatan di dalamnya. Bukan melantunkan lagu ketidakbahagiaan yang menyimpan daya penghancur masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H