Pada tahun 2021 muncul sebuah film yang berjudul Yuni karya Kamila Andini di layer bioskop Indonesia. Film ini memiliki cerita yang mengangkat isu -- isu perempuan di Indonesia dalam sepanjang penayangannya. Bukan hanya mengangkat cerita tentang feminisme, film ini juga memiliki makna filosofis yang tinggi seperti menggunakan warna ungu sebagai simbol pergerakan perempuan.
Ketertindasan Perempuan dalam Film Yuni
Film Yuni mengangkat isu feminisme sebagai plot utamanya sehingga terdapat banyak adegan -- adegan dan permasalahan yang berhubungan dengan penindasan perempuan di sepanjang film ini. Berikut ini adalah bentuk -- bentuk ketertindasan dalam film Yuni :
- Mewajibkan Tes Keperawanan bagi Siswi
Pada menit -- menit pertama film dimulai (02:23 -- 02:32) terdapat sebuah adegan yang menunjukkan tentang tes keperawanan untuk perempuan dengan alasan agar perempuan tidak melakukan seks bebas di luar pernikahan. Pada adegan tersebut seorang walikota hadir mengisi acara sosialisasi bersama rohis di sekolah Yuni berada. Walikota menyampaikan kepada para siswi untuk melakukan tes keperawanan dengan dalih agar tidak ada kejadian hamil di luar pernikahan. Tindakan yang dilakukan oleh walikota tersebut adalah diskriminasi dan paksaan terhadap perempuan. Seorang siswi memiliki hak untuk menolak tes tersebut. Keperawanan adalah ranah privat yang tidak seharusnya disinggung dalam ranah publik. Keperawanan pun tidak ada hubungannya dengan hal -- hal yang bersifat akademis. Pada konteks agama pun, keperawanan adalah suatu hal yang privat dan tidak harus diumbar ke masyarakat. Langkah yang seharusnya diambil oleh walikota adalah bukan melakukan tes keperawanan namun edukasi agar para siswa -- siswi tidak melakukan seks bebas. Karena dalam konteks ini, seks bebas lah permasalahannya bukannya keperawanan. Para siswi memiliki hak untuk perawan ataupun tidak perawan dan para siswi pun memiliki hak untuk tidak memberitahukan orang lain tentang status keperawanannya kepada orang lain ataupun khalayak ramai. Di dalam satu kota pun para siswinya pastilah tidak hanya memiliki satu agama, para siswi dalam satu kota memiliki agama yang beragam antara satu dengan lainnya dan bukan hanya Islam. Perempuan tidak hanya dinilai dari perawan atau tidak, perempuan bukanlah sebuah objek yang hanya dinilai dari kesuciannya namun haruslah dinilai dari berbagai faktor seperti halnya kaum laki -- laki.
- Suara Perempuan adalah Aurat
Pada menit ke (06:34 -- 06:54) ditunjukkan sebuah adegan tentang Yuni yang sedang dihampiri oleh teman bandnya untuk memberitahu Yuni bahwa mereka tidak bisa bermain band karena sekolah yang bekerjasama dengan rohis menciptakan aturan agar perempuan tidak bernyanyi karena dianggap suara perempuan adalah aurat. Generalisir pelarangan perempuan untuk bernyanyi merupakan penindasan terhadap kaum perempuan. Para laki -- laki diperbolehkan dan dapat bernyanyi tanpa ada halangan apapun sedangkan kaum perempuan tidak diperbolehkan bernyanyi. Perempuan dan laki -- laki adalah makhluk yang sama yaitu manusia yang hanya dibedakan ciri fisik kelamin saja. Perempuan memiliki kemampuan untuk bernyanyi seperti halnya laki -- laki. Kesetaraan hak untuk berekspresi dan beraktualisasi diri seperti bernyanyi haruslah ada. Pemerintah dengan kepanjangan tangannya yaitu sekolah seharusnya tidak mengahalangi minat bakat seseorang. Konstruksi tradisi yang tidak mendukung kesetaraan dan kebebasan atas hak perempuan seharusnya dihilangkan. Tidak ada hubungannya antara suara dengan aurat wanita, jika tolak ukurnya adalah birahi/rangsangan seksual maka suara laki -- laki pun dapat menjadi rangsangan seksual bagi wanita. Maka dari itu, tidak rasional jika sekolah melarang perempuan untuk bernyanyi. Sebenarnya, sekolah seharusnya tidak menciptakan aturan siswi tidak boleh bernyanyi namun sekolah harus mengajarkan siswinya untuk tidak bernyanyi yang vulgar dan yang sekiranya mengundang hawa nafsu lawan jenisnya karena ditakutkan dapat menimbulkan hal -- hal yang tidak diinginkan.
- Anak Perempuan harus segera Menikah
Pada menit ke (09:15 -- 09:23) terdapat adegan yang menunjukkan tentang ibu -- ibu yang sedang berkumpul untuk saling berbincang di salah satu toko warga. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ketika perempuan sudah memiliki kekasih harus segera menikah agar tidak hamil diluar nikah dan tidak membuat malu keluarga. Pada kondisi seperti adegan diatas, seorang ibu ini melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketika terdapat dua individu lawan jenis sedang menjalin hubungan kekasih dan berakhir pada kehamilan maka tanggung jawab atas kehamilan itu tidak hanya dibebankan kepada perempuan yang mengandung namun juga terhadap laki -- laki. Jadi, pemikiran ketika anak perempuan memiliki seorang kekasih harus segera dinikahkan adalah kesalahan berpikir yang dapat menimbulkan masalah baru seperti perceraian yang bisa disebabkan oleh terburu -- burunya dalam mengambil keputusan untuk menikah namun pasangan ini belum saling mengenal dengan baik. Ketika perceraian itu terjadi maka korbannya adalah si ibu dan juga anaknya, maka langkah yang harus diambil oleh para orang tua adalah memberikan edukasi dalam hal seks/berhubungan dengan lawan jenis bukan menyuruh seorang anak perempuan untuk langsung menikah.
- Laki -- Laki Tidak Bertanggung Jawab atas Anak dan Istrinya
Pada menit ke (26:35 -- 27:56) terdapat adegan Yuni berkunjung ke temannya yang baru saja melahirkan. Namun terdapat permasalahan yang dialami oleh teman Yuni yaitu ia ditinggalkan oleh suaminya karena tidak betah dengan kehadiran anaknya sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan munculnya adegan kakak teman Yuni mengalami permasalahan yang serupa. Permasalahan seperti ini sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Laki -- laki menganggap bahwa merawat anak adalah tugas dari seorang istri/perempuan, ini merupakan keegoisan laki -- laki dengan melemparkan seluruh tanggung jawab anak kepada istri. Perilaku ini telah menjadi budaya dan menjadi wajar di masyarakat. budaya seperti ini muncul karena anggapan perempuan memiliki peran dalam ranah domestik (rumah tangga) sedangkan laki -- laki ranah publik. Ranah domestik bagi perempuan ini menjadi sesuatu yang waji dikerjakan oleh perempuan dan tidak dianggap sebagai pekerjaan sedangkan laki -- laki hanya bekerja dengan satu jenis pekerjaan dan satu tanggung jawab tetapi perempuan mengerjakan seluruh pekerjaan di dalam ranah domestik dengan banyak tanggung jawab. Dalam mengurus anak, suami dan istri memiliki kewajiban yang sama karena anak adalah hasil dari persetujuan dan konsekuensi dari seks yang mereka lakukan. Istri memiliki hak untuk meminta bantuan suaminya dan Suami memiliki kewajiban membantu merawat anaknya.
- Perempuan Berpendidikan Tinggi dianggap Tidak Berguna
Pada menit ke (40:50 -- 40:54) menunjukkan tentang seorang ibu -- ibu berpendapat bahwa perempuan yang memiliki pendidikan tinggi itu tidak berguna karena pada akhirnya perempuan hanya akan mengurusi ranah domestik (rumah tangga). Seperti yang dibahas sebelumnya, perempuan dianggap memiliki peran di ranah domestik sehingga tidak perlu bersekolah dengan pendidikan yang tinggi. Perempuan memiliki hak untuk tetap bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang tinggi. Pada kenyataannya dalam rumah tangga perempuan pun banyak yang bekerja membantu perekonomian keluarga mereka. Kembali kepada permasalahan rumah tangga, urusan domestik sebenarnya bukan kewajiban bagi seorang istri/perempuan saja namun juga laki -- laki karena pernihakan dijalankan oleh kedua belah pihak. Jika dalam konteks urusan rumah tangga pun, ketika perempuan memiliki pendidikan yang tinggi maka seluruh pekerjaan rumah tangga akan dapat diatasi secara lebih efisien dan cepat termasuk pada urusan mendidik anak akan menghasilkan pola asuh yang lebih baik karena pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan namun juga mengasah pola pikir. Selain itu, pendidikan dapat mengurangi kasus perceraian karena ketika orang yang memiliki pendidikan yang tinggi maka kemampuan rasionalitasnya juga akan tinggi dan lebih bijak dalam mengambil keputusan.
- Perempuan disalahkan jika terjadi perceraian
Pada menit ke (50:36 -- 51:22) dijelaskan tentang adegan perempuan akan disalahkan ketika terjadi perceraian, parahnya ketika terjadi kekerasan rumah tangga masyarakat menilai perempuan harus tetap bertahan demi berlangsungnya pernikahan dan harus bersyukur karena suami mau menerimanya sebagai istri. Berdasarkan percakapan pada gambar 12, ketika terjadi perceraian, perempuan menjadi pihak yang disalahkan. Perempuan dianggap manja dan terlalu terbawa perasaan atas perlakuan suaminya sehingga perceraian pun terjadi. Pada prakteknya di lapangan, penyebab dari perceraian bukan hanya disebabkan oleh perempuan namun juga dapat terjadi karena laki -- laki. Tidak bisa digeneralisir bahwa ketika terjadi perceraian maka pihak perempuan lah yang salah. Perempuan pun memiliki hak untuk meminta untuk diceraikan ketika kondisi rumah tangga sudah tidak kondisional dan merugikan pihak perempuan.
- Pemberian harga atas keperawanan perempuan
Pada menit ke (69:39 -- 70:35) dijelaskan tentang adegan seorang pria paruh baya yang sedang melamar Yuni untuk menjadi Istri keduanya. Permasalahannya timbul ketika pria ini hanya melihat Yuni sebagai objek saja, ia menghargai keperawanan Yuni melalui mahar yang ia berikan. Budaya patriaki menganggap perempuan hanyalah sebuah objek seksualitas dibandingkan sebagai manusia yang sama dengan para laki -- laki. Secara biologis memang perempuan dan laki -- laki berbeda, namun mereka tetaplah satu makhluk yang sama. Maka tidak pantas bagi laki -- laki memandang perempuan sebagai objek seksualitasnya saja. Perempuan sama dengan para laki -- laki yang memiliki kemampuan untuk berpikir rasional. Perempuan pun punya hak dan mampu melakukan apa yang dapat dilakukan laki -- laki. Perempuan dan laki -- laki adalah setara dan negara harus bisa menjamin kesetaraan tersebut, laki -- laki dianggap sebagai manusia, perempuan pun dianggap sebagai manusia bukan hanya objek seskual.
- Sekolah tidak mendukung program beasiswa terhadap perempuan
Pada menit ke (87:15 -- 88:05) ditunjukkan adegan tentang kepala sekolah tidak mendukung program beasiswa Yuni ke perguruan tinggi. Pendidikan adalah hak untuk seluruh manusia baik laki -- laki maupun perempuan. Seseorang tidak boleh menganggap laki -- laki lebih pintar/pantas dari perempuan ataupun sebaliknya. Perempuan dan laki -- laki memiliki kemampuan berpikir yang sama. Tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Ia menganggap perempuan tidak mampu dalam memperoleh beasiswa sehingga ia tidak mendukung program beasiswa Yuni. Padahal, perempuan pun bisa bersaing dengan laki -- laki selama mereka mendapatkan akses yang sama dengan laki -- laki dan ketidaklolosan Yuni dalam memperoleh beasiswa bukanlah hal yang pasti.
Diskriminasi gender masih tetap terjadi pada saat ini meskipun telah berada di era modern dengan penyebaran informasi yang cepat. Indonesia sebagai negara berkembang tetap memegang teguh nilai -- nilai dan norma budaya lokal termasuk patriaki. Mengingat budaya baca masyarakat Indonesia tidak tinggi maka perlu pendekatan lain dalam menyampaikan paham kesetaraan gender antar manusia. Salah satu pendekatannya adalah melalui Film Yuni yang masih berhubungan dengan budaya patriaki di Indonesia. Dalam Film Yuni mengangkat permasalahan patriaki yang identik dengan masyarakat Indonesia seperti disrkiminasi dalam pendidikan, pernikahan, aktualisasi diri, dan sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H