Mohon tunggu...
Much. Maskur
Much. Maskur Mohon Tunggu... Guru - Berdoa dan terus belajar

Matematika Asyik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum 13 Oooh Kurikulum 13

18 Oktober 2014   00:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:37 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kurikulum 2013 diberlakukan pemerintah setahun lalu di sekolah-sekolah yang terbatas/ditunjuk, dan mulai tahun ajaran 2014/2015 ini serentak di seluruh sekolah di Indonesia, banyak opini yang berkembang di masyarakat, terutama para guru, wali murid, praktisi pendidikan, bahkan sampai pada artis/entertainment.

Dari yang saya baca di media-media baik media cetak, online, atau dari obrolan dengan rekan-rekan guru yang lain ternyata sangat beragam pendapat mereka baik yang pro atau kontra.

Sebetulnya, banyak guru yang merasa kaget atau belum siap dengan adanya perubahan pada kurikulum ini. Karena hal biasa, setiap ada perubahan pasti banyak yang harus disesuaikan. Ibaratnya, kita sudah asyik/nyaman dengan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam mengajar, e..e.. ini harus diubah, baik dalam proses pembelajarannya yang menggunakan pendekatan saintifik maupun dalam penilaiannya yang menggunakan penilaian otentik.

Mau tidak mau, suka tidak suka perubahan kurikulum adalah sebuah keniscayaan, suatu bangsa tidak akan maju kalau tidak bisa membuat perubahan-perubahan terutama dalam hal pendidikan. Saya kira, inilah bentuk ikhtiar pemerintah menyikapi tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita.

Kejadian yang cukup unik berhubungan dengan judul artikel di atas saya alami ketika saya diundang oleh P4TK matematika untuk mengikuti diklat impelemntasi kurikulum 2013 di tahun 2013 dan diundang lagi menjadi instruktur nasional di tahun 2014. Konsekuensinya, kami yang di undang harus menyampaikannya kepada guru-guru sasaran di daerah-daerah. Walaupun kegiatannya berlangsung cukup lancar, tetapi apa yang melekat pada kami di sekolah. Karena harus sering pergi meninggalkan sekolah menyampaikan kurikulum ini di daerah-daerah dan dilanjutkan kegiatan-kegiatan pendampingan di sekolah sekitar, kami mendapat julukan baru di sekolah.

Ya, ternyata teman-teman kami di sekolah selalu memanggil saya dengan IN. Pak IN.... Pak IN.... begitu panggilan mereka kepada saya. Sebetulnya saya agak risih juga sih di panggil seperti itu, sampai-sampai saya merasa dibuly sama temen-temen, setiap ada masalah hal apa saja selalu ditanyakan kepada saya. Kata mereka saya sebagai IN harus bisa menjawab semua masalah-masalah yang ada.

Wah kalau jadinya seperti ini, malu juga saya kalau disebut IN. Tapi, bagi saya tanggapan temen-temen terhadap saya, saya anggap sebagai bentuk perhatian dan mudah-mudahan mereka semakin antusias dan menerima perubahan kurikulum ini dengan senang hati dan mau untuk mengimplementasikannya dalam pembelajaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun