Oleh MUCH. KHOIRI
Malam ini, begitu sesendok Bakmi Jowo Pak Rebi menyapa lidahku, sekonyong-konyong terbayanglah ibuku. Bakmi telor berkuah yang masih panas kedhul-kedhul, ditemani satai ayam yang empuk, memanjakan lidahu yang memang sejak siang “berpuasa”—kecuali camilan kecil sepanjang perjalanan Surabaya-Semarang. Mengapa bakmi kuah yang tersedia di Jln. Lomba Juang ini menggugah bayangan ibuk, berikut ini ewes-ewes-nya.
Bakmi, ya, bakmi. Aku memang satu dari jutaan orang Indonesia yang menempati posisi sebagai konsumen mie (hampir) teratas setelah orang China. Tapi bakmi satu ini lain, bukan mie instan kemasan yang tinggal dikeluarkan dari bungkusnya dan dimasukkan ke air mendidih—dan siap saji. Bukan, Sodara. Ini bakmi Jowo Pak Rebi, yang bumbu-bumbunya diracik sendiri, dimasak dengan perapian arang, untuk menghasilkan bakmi nyamleng yang menggoyang lidah para kastamer.
Semula aku tak percaya akan hal ini; lha wong jauh-jauh dari Surabaya ke Semarang, hanya makan bakmi. Terlebih, kami tinggal di Hotel Ciputra, hotel berbintang di seberang jalan Simpang Lima—tempat grup YKS kemarin tampil di sini, dengan penonton yang aduhai banyaknya. Gak level lah, mungkin begitu kata orang. Tinggal di hotel, makannya, eh, bakmi kuah, benar-benar gak level—ke sana pun harus berjalan kaki pula, meski hanya beberapa ratus meter saja, alias tak mentrepeskan sandal jepit. Hanya gobyos luar-dalam, itu tak dimungkiri.
Namun, begitulah, “kebenaran” itu (*weleh-weleh) telah ditunjukkan fakta, tak perlu dikatakan. Ternyata, bakmi Pak Rebi asal Solo ini bukan main maknyus-nya. “Sak porsi bisa kurang nih,” begitu celetuk temanku. Ada ekstranya pula. Apa itu? Ada gedung GOR yang dirata-tanahkan, kantor notaris yang officeless, lapangan tempat skuad PSIS Semarang sering berlatih fisik, ada klub karaoke Inul Vista, dan—seperti biasanya—tukang tambal ban. Satu lagi, aku menggelar etnografi singkat dengan jukir (juru parkir) tua yang telah puluhan tahun “menguasai” tempat itu dan segala kisah di baliknya. Seakan jiwa-raganya telah menyatu dengan lokasi yang sedang disulap menjadi GOR baru.
Bukan itu saja. Rasa bakmi ini benar-benar menggugahku akan kehadiran ibuk—yakni perempuan mulia yang telah mengandungku, merawatku, mendidikku, dan sebagainya, termasuk suka memasakkan bakmi untukku. Dalam dua bulan ini aku belum sempat sowan beliau, kecuali hanya saling-berkabar lewat telepon. Aku sudah kangen beliau dan bakmi masakannya. Malam ini, meski tak seenak masakan ibuk, bakmi Pak Rebi bisa cukup mengobati kangenku akan bakmi ibuk.
Namun, memang begitulah beliau. Jangankan aku, seluruh tetangga dalam radius dusun juga tahu, bahwa ibukku adalah master chef—sesuatu yang membuat bapakku jadi laki-laki rumahan alias tak pernah jajan di warung makan. Tangan ibuk itu seperti punya keajaiban. Apapun yang dimasaknya, pastilah terasa sedap dan uenak—meski dengan bumbu yang kerap tidak lengkap sekalipun. Kami, anak-anaknya, selalu luekoh (lahap) menyantap hidangan yang beliau siapkan.
Kalau kami pulang kampung, aku sering sengaja tak memberi tahu beliau jauh-jauh hari sebelumnya—seringnya aku menelpon beliau ketika kami berada di jalan satu jam menjelang tiba di rumah. Aku tak ingin merepotkan beliau, yang sudah sepuh kini, untuk memasakkan makanan kesenanganku. Namun, jika aku bilang begitu, beliau selalu menjawab begini: “Le, segede apapun kamu, kamu tetap anak ibuk. Ibuk suka memasakkan makan kesenangan anak ibuk.”
Begitu pun, kalau beliau (bersama bapak) kersa menginap beberapa hari di rumahku Driyorejo, ibuk selalu memasakkan makanan untuk kami semua. Beliau memang suka memasak, itulah nature-nya. Jadi, maksud kami beliau duduk manis, ternyata maksud kami selalu ditolaknya. Beliau selalu tersenyum melihat kami melahapi masakan yang disiapkannya. Entah kata apa lagi yang bisa mewakili ungkapan hati kami.
Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Deg! Gara-gara bakmi Pak Rebi, aku teringat pada ibuk, teringat akan kemuliaan beliau, teringat akan segala kasih-sayang yang telah dicurahkan kepada aku dan keluargaku. Sekaligus aku teringat betapa kasihku belum sepanjang galah, apalagi sepanjang jalan—jauh dari semua itu.
Di sini, disaksikan malam yang mengabadikan doa-doa, aku bayangkan sedang sungkem pada ibuk (dan bapak) di sebuah rumah pedesaan tempat kami dibesarkan. Apa yang telah beliau berikan sungguh laksana ketinggian dan kedalaman tak terukur, laksana jalan yang tak berpangkal. Sementara itu, baktiku pada beliau barulah seujung kuku, belum ada apa-apanya.***
Semarang, 5-6 Mei 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H