[caption id="attachment_347003" align="alignnone" width="640" caption="Sekawanan sapi di makam itu. Gambar diambil 18/1/2015"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
SAHABAT, bagaimana pendapatmu ketika melihat sekawanan sapi merumput di atas makam aktif? Terlebih, jika engkau tahu, sapi-sapi itu bukan sapi liar, melainkan sapi yang “sengaja digembalakan” di sana? Bukan sehari dua hari, melainkan sudah bertahun-tahun, bayangkan! Lalu, kaudapati nisan keluargamu patah rusak akibat ulah sapi-sapi itu; perasaan apakah yang mengaduk-adukmu?
Semua itu ada di hadapanku sekarang, di pagi tanpa sinar mentari ini. Ya, sudah belasan kali aku dan keluarga mendapati pemandangan aneh semacam ini. Sejumlah sapi yang berkeliaran di atas makam Gading, di pinggir kota Pasuruan. Sama dengan waktu-waktu sebelumnya, sapi-sapi itu terikat oleh tampar sekitar 6 meter, yang pangkalnya diikat pada nisan—sehingga mereka cukup leluasa merumput ke sekitarnya, di antara nisan-nisan yang bertengger di sana.
[caption id="attachment_347004" align="alignnone" width="448" caption="Suasana hampir sama. Foto diambil 12/8/2013"]
Karena panjangnya tampar itu, sapi-sapi itu bisa merumput dalam radius 6 meter-an itu. Dalam gerak memutarnya, tampar-tampar itu kerap menyangkut nisan-nisan. Untuk meraih rumput yang cukup jauh, sapi itu bisa menarik tampar yang menyangkuti nisan. Dengan sekali hentakan, nisan bisa patah atau jebol dari akarnya. Belum lagi nisan yang secara tak sengaja diinjak-injak sapi-sapi itu—akibatnya bisa diduga: tidak akan utuh seperti sedia kala!
[caption id="attachment_347005" align="alignnone" width="448" caption="Tampar yang panjang menjerat nisan-nisan. Foto 12/8/2013"]
[caption id="attachment_347006" align="alignnone" width="448" caption="Beginilah akibatnya. Foto 12/8/2013"]
Pukul 07.45 yang sejuk kami datang ke makam yang berhektar-hektar ini, setelah sekitar sebulan sebelumnya juga datang ke sini. Pemandangannya masih tetap sama—bedanya kini rumput mulai lebat di sana-sini. Sejumlah sapi masih merumput di makam ini—di atas ribuan jasad almarhum(ah) yang telah dibaringkan. Bahkan, seusai kami berziarah kubur untuk anak-anak kami (alm. Sulastri dan Tegar Aji Pamungkas), juga ibu mertua Hj. Fatechah, kami melihat sejumlah lahat yang masih baru. Gemasnya, ada lahat baru yang terinjak jeblong oleh seekor sapi—sesuatu kejadian yang pasti akan menggugah kemarahan keluarganya. Benar apa benar?
[caption id="attachment_347007" align="alignnone" width="448" caption="Apakah ini pecah sendiri? Foto diambil 18/1/2015"]
[caption id="attachment_347009" align="alignnone" width="448" caption="Lihatlah lahat baru ini. Diinjak-injak sapi juga kan? Foto 18/1/2015"]
Sahabat, apakah engkau tidak menganggapnya aneh? Ini makam, Sahabat, bukan pesawahan, ladang, atau kebun untuk menggembala ternak sesuka hati. Seharusnya ada etika, tata krama, yang harus ditegakkan. Atau mungkin tidak ada etika atau tata krama di daerah ini ya? Jangan remehkan, Sahabat, ini wilayah kota Pasuruan—sekali lagi Pasuruan—sebuah kota santri, yang masyarakatnya terkenal khatam dengan pemahamannya akan syariah, hukum agama dan hukum sosial kemasyarakatan.
Namun, itulah kenyataannya. Ada orang-orang [dulu mungkin disebut ‘oknum’] tak bertanggungjawab yang mengarahkan sapi-sapi mereka menginjak-injak “rumah masa depan” semua orang. Bagaimana mungkin mereka tidak menghormati wilayah sakral semacam ini? Ini sebuah kekhilafan semata, ataukah kesalahan yang sengaja? Jika hanya kekhilafan, mengapa itu telah berlangsung sekian lama?
Setiap kami berkunjung, aku diam-diam mengamati makam ini—dan perkembangannya terkait dengan sapi-sapi itu. Pada Idul Fitri kemarin aku memotretnya, dengan harapan untuk bahan masukan bagi Pemkot Pasuruan, namun aku belum sempat menulisnya. Setelah beberapa kali mendapati kasus yang sama, dan tidak pernah ada perubahan, hari ini aku memotretnya kembali. Sefolder dokumentasi yang menggelisahkan hati. Aku harus mengatakan kenyataan ini, meski mungkin akan pahit rasanya.
Memang sempat aku berpikir, bagaimana sih peran penjaga makam ini? Apakah “juru kunci” makam ini tidak berdaya menghadapi para penggembala sapi itu? Pernah ada yang bilang, sebagian masyakarat terdekat makam itu sulit diajak bicara tentang sapi-sapi mereka? Sesulit itukah mengajak bicara dengan mereka? Nah, apesnya, sepertinya makam ini tiada juru kuncinya, sehingga tiada peluang untuk mengutarakan unek-unek tentang semua ini. Mau ke Pemkot, aku juga belum sempat, mengingat aku sekeluarga sudah berdomisili di kota lain.
Yang menggemaskan, boleh jadi, sapi-sapi itu telah merusak cukup banyak nisan. Nisan ibu mertua pernah patah beberapa tahun silam, dan kami telah menambalnya. Nisan anak kami juga patah salah satu. Di berbagai bagian makam ini kami temukan nisan-nisan patah—dan itu patut diduga juga diakibatkan oleh gerakan liar sapi-sapi yang merumput dari titik satu ke titik lain di atas makam ini.
Aku tak ingin membiarkan hatiku berprasangka buruk (syu’udzon). Prasangka baik (husnuddzon) tetap nomor satu, sambil berharap aparat desa atau kecamatan bisa mengatasi hal ini. Namun, aku juga tak kuasa mencegah untuk berpikir begini: “Amat mustahil para keluarga almarhum(ah) mematahkan atau merusak sendiri nisan-nisan mereka, bukan?” Atau mungkinkah ada orang gila yang merusak nisan-nisan itu?
Tentu saja, sapi tidak bisa disalahkan, karena sapi itu binatang tak berakal. Mereka tak bisa berpikir tentang kerusakan yang mereka timbulkan dengan menginjak-injak lahan makam. Mereka hanya ingin perutnya kenyang—tidak lebih tidak kurang. Mereka tidak wajib mengikuti etika atau tata krama bagi masyarakat manusia—karena mereka memang tidak terikat etika atau tata krama di atas makam, tempat jasad-jasad disemayamkan (meski kini mungkin telah menyatu dengan tanah).
Yang patut dipertanyakan adalah di empunya atau si penggembala sapi-sapi itu. Tidak usah ndakik-ndakik (terlalu muluk) menggunakan hukum agama apa, cukuplah etika atau tatakrama saja. Di manakah kesadaran etika mereka letakkan? Sopankah mereka membiarkan sapi-sapi mereka menginjak-injak rumah-rumah para almarhum(ah) leluhur masyarakat banyak? Bukankah mereka sengaja menantang kesabaran dan harga diri keluarga yang memiliki anggota-keluarga yang dimakamkan di sana?
Sahabat, aku benar-benar ingin menyampaikan hal ini kepada Pemkot Pasuruan, agar pengelolaan makam Gading ini ditertibkan kembali, setidaknya agar sapi-sapi itu (kadang juga kambing) hilang selamanya dari area makam. Sapi-sapi harus dikandangkan; dan makam dikembalikan ke fitrahnya—tempat yang nyaman untuk menyemayamkan jasad keluarga yang berpulang.
Meski demikian, andaikata tulisan ini mewakili suara hatiku—yang kemudian disimak oleh pihak Pemkot—, aku akan memanjatkan syukur pada Tuhan sedalam-dalamnya. Yang jelas, aku menyampaikan semua ini, dengan niat tulus, agar makam Gading berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, makam adalah tempat berpulang orang-orang tercinta kita.*
Gresik, 18/19 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H