Mohon tunggu...
Akhmad Nushoir Mubaroki
Akhmad Nushoir Mubaroki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aktif sebagai mahasiswa angkatan 2014 Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bocah ganteng ini berasal dari kota terpencil di daerah Nganjuk, tepatnya Kertosono. Bocah ini juga memiliki rumah dunia maya di www.mubaroki.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

“Cari Nilai Ya, Nak?”

16 Desember 2014   04:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nak, sekolah yang bener ya! Yang rajin, biar nilainya bagus.” “Biar apa, bu?” anak delapan tahun yang baru dududk di kelas tiga Sekolah Dasar itu menyahut. “Biar punya uang banyak. Biar sejahtera hidupmu kelak.” Ibu itu mengangguk. “Kalau begitu nilaiku harus bagus biar punya uang banyak, ya?”. Ibu itu tersenyum lalu meninggalkan anaknya yang berlarian menuju gerbang sekolah untuk pergi belajar.

[caption id="" align="aligncenter" width="312" caption="Gambar Ilustrasi dari blogoranje.blogspot.com"][/caption] Kalimat seperti itu yang sering Aina Ambarawati dengar dari ibu-ibu tetangganya ketika memberi wejangan kepada anaknya yang pergi kesekolah. Awalnya ia hanya menganggap hal seperti itu sesuatu yang lumrah, sebab sebuah wejangan bertujuan supaya sang anak lebih giat belajar dan mencetak prestasi di bidang akademik. Namun, kata-kata itu menyematkan sesuatu yang bbersangkut paut dengan dunia pendidikan di Indonesia.

Menurut pandangan Ainia Ambarawati, kebiasaan para orang tua memberikan wejangan seperti itu, memperlihatkan bahwa orang tua seperti itu menuntut pada anaknya untuk meraih prestasi akademik yang memuaskan dalam bentuk NILAI, sebenarnya itu keliru. Paling baik, dalam setiap wejangan sebaiknya disematkan nilai ketuhanan, sehingga dasar berfikir anak akan selalu mengacau pada hal yang religius. Kecenderungan yang tampak sekarang ialah cara berpikir anak yang lebih condong pada hal-hal berbau materialistis.

Tak ada salahnya memang mementingkan hal material dalam dunia pendidikan, seperti material angka-angka yang termaktub dalam buku rapor sebagai nilai. Namun, hal itu akan menjadi salah ketika hanya tujuan material semata yang terus digaungkan. Kaidah-kaidah non-material, seperti niali-nilai ketuhanan adalah faktor penting yang juga melandasi cara berpikir anak di bangku pendidikan. Menurut Ainia Ambarawati, pandangan orang tua mengenai konsep “sukses” pada masa depan anaknya haruslah dipandang pula secara moril-spirituil, tidak hanya materiil.

Nilai ketuhanan dapat dijadikan sebagai acuan untuk berpikir pada anak dalam menyelesaikan permasalahannya. Caranya tidak terlalu sulit. Misalnya saja, para orang tua biasa menggunakan kebiasaan mengobrol dengan anak sebagai media mengenalkan nilai-nilai ketuhanan. Dimulai dari hal yang paling sederhana, seperti bagaimana Tuhan memberikan nikmat kepada manusia. Mengajak anak untuk mengobrol tentang nikmat Tuhan atas karunia bernapas, mengunyah makanan, hingga kemampuan manusia mengeluarkan sisa olahan makanan. Itu semua tentu akan merangsang si anak untuk berpikir tentang nilai ketuhanan.

Dengan mengetahui kebaikan yang melekat dalam setiap nikmat itu, anak pun akan cenderung lebih menghargai apa yang dimilikinnya. Memperkenalkan berbagai nikmat yang melekat di dalam tubuh si anak adalah cara sederhana untuk memperkenalkan nilai ketuhanan. Dan perkenalan semacam itu akan menumbuhkan investasi berharga bagi perkembangan berpikir anak hingga masa dewasanya.

Sementara itu, aspek materiil hanya akan menggiring anak pada pola-pola pikir yang meremehkan dan tidak mengindahkan kewajibannya, atau sleder. Sleder disebabkan oleh lemahnya rasa hormat terhadap orang lain. Sikap sleder berhubungan dengan penyimpangan etika. Tidak jarang kita temui anak-anak yang secara tidak sadar dibentuk sebagai pribadi yang berorientasi pada aspek materiil, pada akhirnya menjadi orang yang tidak jujur (atau bahkan pada level terburuknya menjadi anarkis) jika semasa kanak-kanaknya tidak diberikan suplemen pengetahuan ketuhanan.

Tidak sedikit anak-anak yang memilih untuk menyontek guna mendapatkan nilai yang tinggi. Sangat sedikit anak yang memilih untuk tidak menyontek dengan alasan malu karena dilihat Tuhan-nya. Padahal, menyontek adalah salah satu perbuatan yang tidak menghormati orang lain. Menyontek berarti tidak menghargai orang yang tidak menyontek. Dan tidak menghargai orang yang memilih untuk tidak menyontek berarti juga tidak menghargai Tuhan, karena itu berarti dia tidak menghargai kejujuran. Sementara kejujuran adalah salah satu nilai ketuhanan yang dianugerahkan kepada diri manusia.

**Kisah Dari Ainia Ambarawati Seorang Pemerhati Dunia Anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun