Mohon tunggu...
Mubari Amind
Mubari Amind Mohon Tunggu... -

Jangan percaya sama tulisan ini. Tulisan di sini semuanya fiktif belaka. Kalau ada yang benar mungkin kebetulan atau mungkin kebenaran yang kebetulan difiktifkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tirakatan dan Rutinitas

16 Februari 2019   12:47 Diperbarui: 16 Februari 2019   13:30 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anda pasti tahu tirakat? Anda juga tentu pernah melakukannya baik disadari mau pun tidak.

Tirakat ialah riyadhoh, pendisplinan diri dalam rangka mencapai sesuatu---kataku.Orang-orang besar, sukses, terkenal, alim, pasti melalui tirakat sebelumnya. Pasti, bukan mungkin lagi. Masyarakat umum di sekitarnya sedikit yang tahu bahwa mereka bertirakat, tirakat mereka berupa apa---mereka tidak tahu detailnya hanya tahu permukaannya saja. Kalau pun tahu, kadang tak mau mengakui, "Ia orang yang bermodal, keturunan bangsawan, kaya-raya...," dalih mereka, para penyinyir. Mereka anggap yang didapatkan merupakan jalan instan, mudah, akibat dari faktor uang, modal, keturunan dan seterusnya. Padahal bukan sama sekali---meski ada sedikit sekali yang sekadar terkena cipratan kaya tujuh turunan---tapi maksudku itu bukanlah yang utama membentuk mereka. Keberhasilan mereka ditentukan dari tirakat yang mereka lalui. Para penyinyir tak mau mengakui kalau dirinya tak mau berusaha lebih keras, tak mau menempuh tirakat yang panjang.

            Tak ada kesia-siaan sama sekali dalam tirakatan. Ketekunan, kesabaran untuk terus melakukannya tanpa henti adalah kuncinya. Amat sangat sedikit orang yang sukses dalam tirakatan---itulah mengapa orang kaya, berkuasa, pintar, bijak, saleh amatlah sedikit. Kebanyakkan gagal, berhenti di tengah jalan, menyerah, pindah haluan, cari target lain, gagal lagi, cari target lain, gagal, dan berhenti di zona nyaman. Lamanya berhasil tirakatan setiap orang pasti berbeda-beda, begitu pula dengan bentuk, metode, intensitas, frekuensi, energi yang dikerahkan, jatuh bangun yang dialami ketika tirakatan. Dan perbedaan itu yang menyebabkan munculnya para penyinyir, orang gagal.

            Jangan ragu soal tirakat yang kau lakukan. Optimislah. Jangan biarkan keraguan mengenyahkan yang sudah di depanmu, keberhasilanmu. Rasa optimis, yakin ialah yang menciptakannya ada. Tak heran lagi jika tirakat akan membawamu kepada apa yang kau harapkan mau pun rezeki yang tak terduga.

            Seperti hal pada kisah seorang sufi sekaligus pedagang roti ini. Dia bertirakat untuk dapat meminang perempuan yang ditemuinya ketika mengantar orderan ke kerajaan. Ialah perempuan yang menerima orderan itu, yang ternyata seorang putri raja---yang tentunya amat mustahil baginya., Esoknya ia mulai membuat puisi---yang mana merupakan keahliannya, bahkan telah diakui orang banyak---tapi kali ini puisi cinta untuk putri raja. Beberapa kali ia lakukan tapi tak ada yang berhasil, tak ada yang dibalas. Karena keinginannya yang sangat itu, ia mengamalkan sholat malam dan wirid tertentu selama 40 hari sebagai tirakat berikutnya dengan maksud Tuhan mengabulkan keinginannya. Hari ke-40 pun tiba, sufi itu mendapati sesuatu dari amalannya. Dia temui makhluk bercahaya yang sangat indah baginya, bahkan melebihi putri yang diincarnya.

"Apa yang kamu inginkan untuk Allah kabulkan?" tanyanya pada sufi itu.

"Engkau sungguh indah sekali," ujar sufi itu, "kalau engkau seindah ini, maka seindah apa 'Yang mengutusmu ke mari?"

Sufi itu lalu menyampaikan hasratnya yang baru, yakni menemui-Nya. Kemudian ia mengalami ekstase atau mukasyaf.

            Itu hanya sebagian kecil contoh tirakat. Banyak sekali contoh lainnya, seperti, pengusaha sukses yang dulunya berdagang telur dari rumah ke rumah. Ilmuwan yang belajar seharian penuh, melakukan banyak penelitian, mengorbankan waktu bermain dan istirahatnya. Novelis yang dulunya berulang-ulang kali ditolak penerbitan tapi masih mau menulis dan mengirimkan naskahnya. Dan seterusnya, tak terhitung jumlahnya.

            Buah yang dihasilkan tirakatan sebetulnya tak hanya apa yang kita kejar belaka. Bukan hanya kekayaan, kemasyhuran, kekuasaan, tapi bonus yang kita dapat dan itu lebih penting. Ialah ketaguhan, tahan banting, keterampilan, ketangkasan, dan sebagainya. Yang merupakan potensi besarmu yang dapat digunakan meraih yang dulu pernah kau raih dan kini pasti lebih mudah dan efisien. Seorang Novelis pasti lebih mudah dan cepat untuk kembali menerbitkan buku. Seorang public speaker lebih sedikit bertutur tapi langsung mengena ke audien.

            Maka bertikatlah. Memang untuk apa hidupmu yang sekali ini kalau bukan bertirakat. Mau enak-enaknya saja, gampangnya saja? Tentu itu yang kebanyakkan orang inginkan. Tapi ingat itu dapat kamu peroleh dengan bertirakat. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Enak-enak yang panjang bisa kamu peroleh dengan bertirakat dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun