Kita melihat manusia bekerja banting tulang siang dan malam. Memeras tenaga berpeluh keringat, demi sebuah penghidupan. Ketika hakikat kehidupan dimaknai sebagai sebuah pertarungan hidup untuk tetap hidup; demi mendapatkan pundi-pundi rupiah, sesuap nasi, dan semangkuk berlian.
Maka apa yang isitimewa dari semua itu, jika dibandingkan dengan model kehidupan sekumpulan binatang-binatang liar dihutan belantara? Seekor burung keluar dari sarang dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaaan kenyang. Bukankah manusia sama? Keluar dari rumah dalam keadaaan tak punya apa-apa dan kembali pulang menjadi punya apa-apa. Manusia yang baik adalah manusia yang mampu mempola kehidupannya menjadi lebih baik dari sekumpulan binatang, ketika ia menyadari “apa tujuan ia diciptakan?”
Ketika seseorang telah mengetahui dan memahami tentang asal-usul dirinya, maka dapat dipastikan orang tersebut telah mengetahui tujuan dari hidupnya. Terlepas dari benar atau salah dari pemahaman sebelumnya. Hal ini dikarenakan orang tersebut telah berhasil memecahkan satu pertanyaan besar yang membuat dirinya sadar, akan eksistensi dirinya didunia ini.
Perlu dipahami juga, bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak terlepas dari pemahamannya tentang asal-usulnya tersebut. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pemahamanlah yang membuat seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat. Sebagai contoh, orang yang memahami bahwa ia berasal dari materi, maka ia akan bertingkah laku dan berbuat segala sesuatu berdasarkan materi semata. Materi menjadi tolok ukur segala perbuatan, tingkah laku dan cara pandangnya terhadap sesuatu.
Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada orang-orang yang memiliki pemahaman atheis atau komunis. Mengapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah karena ia memiliki pemahaman bahwa ia berasal dari meteri. Segala hal akan dilakukan demi tercapainya kepuasan materi, dan ia tidak ingin terikat oelh segala macam aturan yang mengekang keinginannya untuk mendapatkan materi. Justru ia akan membuat aturan-aturan yang menunjang keinginannya tersebut. Dengan kata lain, ia membuat aturan-aturan dan hokum-hukum untuk mendapatkan kepuasan materi dan menjaga agar materi tersebut tidak berkuarang dan tidak ada yang mengambilnya.
Berbeda dengan orang yang memiliki pemahaman islam, ia tentu akan memahami dengan pasti bahwa ia berada didunia ini hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat Adz-Dzariyat : 56
Yang artinya :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi(beribadah) kepada-KU”(QS. 51 : 56)
Dengan begitu, ia akan menjalani kehidupan ini dengan berpedoman kepada apa yang telah ditentukan oleh Allah. Ia tidak akan pernah ingin mengambil sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan-Nya. Ia tidak akan bernai untuk melanggar perintah-Nya sebab ia merupakan mahkluk ciptaan yang tidak berguna tanpa sang Pencipta. Manusia memiliki keterbatasan dalam segala hal, sehingga Allah menurunkan pedoman-Nya untuk mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui.
Akal yang diciptakan oleh Allah pun ternyata bersifat terbatas, ia hanya dapat menjangkau hal-hal yang dapat diinderanya. Akal manusia tidak akan dapat menjangkau hal-hal yang berada diluar jangkauannya, seperti Dzat Allah, duduknya Allah diatas Arsy’. Dengan kata lain, akal tidak dapat menjangkau hal-hal yang sifatnya ghaib dan tidak terindera.
Ketika manusia memahami bahwa akal itu bersifat terbatas, maka ia tidak akan pernah mencoba-coba untuk mengambil sesuatu yang berada diluar jangkauan akalnya. Manusia tidak akan pernah mencoba-coba untuk membuat sebuah aturan atau hokum yang sempurna dan dianggap dapat mengatur system kehidupan manusia seluruhnya.
Akal manusia akan tunduk kepada apa yang telah diwahyukan Allah dalam Al-Quran yang telah dibawa oleh manusia agung Rasulullah Muhammad SAW. Apa yang diketahui manusia pertama kali hingga sekarang adalah karena adanya informasi sebelumnya. Dengan kata lain, ada sesuatu yang telah memberi tahu manusia tentang segala sesuatu, yang kemudian sesuatu tersebut disampaikan kembali kepada manusia lain dan begitu seterusnya.
Seseorang dapat menggunakan akalnya untuk berpikir disebabkan adanya empat hal yaitu; fakta, otak yang normal, panca indera, dan informasi sebelumnya. Dengan adanya empat hal ini maka akal manusia dapat berjalan dengan normal, jika salah satu saja hilang maka manusia tidak akan dapat menggunakan akalnya untuk berpikir.
Manusia yang telah memahami hal tersebut, tentu akan menjalani hidup sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an diatas, Allah telah memberitahukan kepada manusia bahwa tugas manusia hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya tanpa kecuali dan pilih-pilih.
Imam Syafii berkata:
“ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf (baligh) adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal ghaib dari pengamatannya dengan indera dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang usluhuddin”. (Fikhul Akbar : Imam Syafi’i).
Dengan begitu jelaslah bahwa Islam sangat mendorong ummatnta agar selalu berpikir dan tidak menjadi seorang yang buta ilmu. Sebab dengan melalui proses berpikirlah keimanan tersebut dapat diaraih. Seorang tidak akan mungkin dapat mencapai keimanan yang benar tanpa berpikir tentang eksistensi Allah, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Dengan berpikir seorang muslim akan mampu mengetahui dengan jelas tentang tugas dan kewajibannya diatas bumi ini. Ia akan mampu menjalani kehidupan dialam dunia ini tanpa rasa pesimis, bahkan sebaliknya ia akan sangat optimis. Hal ini dikarenakan ia telah mengetahui dakan tujuan hidup dan keinginannya di dunia ini.
Berbeda dengan paham yang telah memandulkan Tuhan dalam eksistensi ataupun kekuasaan-Nya. Orang yang memiliki pemahaman seperti ini, akan lebih cepat pesimis dan frustasi dan ia pun dalam menjalani proses kehidupan jika terbentur oleh sebuah masalah yang berat, dengan mudah ia akan putus asa hingga bnuh diri.
Hal ini dikarenakan ia tidak memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya, cara pandang yang keliru dalam menjalani kehidupan. Jika ia sukses dalam hidup tersebut maka sesungguhnya hal tersebut bersifat temporal dan semu. Bahkan ia berada dalam putaran roda yang terus berputar tanpa henti dan akhir, hidupnya dipenuhi dengan kesibukan yang hingga akhirnya ia akan jatuh dan susah untuk bangun lagi.
Banyak sekali contoh didepan mata kita semua, bagaiamna orang dengan sangat mudah untuk bunuh diri setelah mencapai kesuksesan dunia. Kehidupan dunia yang ia cari dengan susah payah, justru membuatnya ia lelah dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan mereka tidak mengetahui dengan jelas apa tujuan hidupnya dialam dunia ini.
Ketika seorang telah mengetahui dan memahami tentang asal-usul dirinya dan tujuan hidupnya, maka akan muncul pertanyaan yang sama pentingnya yaitu, “akan kemana manusia setelah meninggalkan dunia?”.
Semogha bermanfaat, menjadi pertimbangan atas tingka laku/perbuatan kita dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H