Mohon tunggu...
Mubarak82
Mubarak82 Mohon Tunggu... -

Hanya mencoba menulis....

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketenagakerjaan Pasca Kontrak Migas Berakhir?

22 Februari 2016   23:19 Diperbarui: 22 Februari 2016   23:39 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Wilayah Kalimantan dan Sulawesi melalui Kepala Humas SKK Migas Kalsul, Bambang Arianto Kurniawan, menegaskan bahwa selama kontrak masih ada dan belum berakhir maka tidak boleh ada PHK di perusahaan Migas. Namun, jika memang kontrak berakhir, maka PHK bisa saja dilakukan. Selain tidak bertentangan hukum, dari aspek ketenagakerjaan juga tidak bermasalah (selengkapnya baca: SKK Migas Siap Rem Gerbong PHK di Chevron).

Miris sebenarnya mengamati situasi Migas (terutama bagi saya pribadi yang berdomisili di Kalimantan Timur). Merosotnya harga minyak mentah di level USD 30 per barel membuat para operator migas kesulitan. Pendapatan perusahaan pun goyah lalu kegiatan operasional berkurang. Harga minyak mentah saat ini terburuk dalam sejarah, bahkan level harga terendah pernah tercatat di angka USD 50 per barel. Dampak yang paling terasa bagi karyawan perusahaan Migas (terutama bagi kawan-kawan saya pekerja migas di wilayah pesisir Kalimantan Timur yang sumberdayanya dikeruk) adalah bayang-bayang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Kenapa opsi lay off ini menjadi pilihan kontraktor migas ditengah instabilitas harga migas dunia?. Padahal masih ada upaya efesiensi yang dapat dilakukan.

Dilain pihak muncul isu ketenagakerjaan dalam regulasi nasional yang terkait dengan peralihan pengelola wilayah kerja migas yaitu Permen ESDM No. 15/2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya. Terumana bagi operator migas yang tidak (lagi) memiliki saham pengelolaan wilayah kerja migas maka dampaknya adalah PHK karyawan. Mengamati isu ketenagakerjaan ini (dan saya kira, beberapa kemungkinan ini akan terjadi) maka regulasi yang berkait dengan isu ketenagakerjaan patut menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah (ini terutama karena keprihatinan saya secara pribadi dengan nasib kawan-kawan saya yang selama ini menggantungkan hidupnya di sektor migas). Perhatikan saja beberapa regulasi ini:

  1. UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas telah mengatur mengenai pemanfaatan tenaga kerja berdasarkan Pasal 40 ayat (4) serta Pasal 42 huruf j, yang menyatakan bahwa: “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing” serta tanggungjawab kegiatan pengawasan atas kegiatan usaha Migas meliputi pengembangan tenaga kerja Indonesia. Oleh karenanya, urusan penempatan para karyawan ke wilayah operasi lain menjadi tanggungjawab perusahaan Migas. Hal ini juga ditegaskan dalam Permen ESDM No. 27/2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi.
  2. Perusahaan dapat mengalihkan para karyawannya kepada perusahaan baru yang mengakuisisi wilayah kerjanya ini merupakan implementasi Permenakertrans No. 19/2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Permenakertrans ini dikenal dengan Permenakertrans yang mengatur tentang outsourcing (alih daya). Regulasi diatasnya, yaitu UU No. 13/2003 secara umum juga telah mengaturnya pada Pasal 61 ayat (3) bahwa: “Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh”.
  3. Perusahaan mem-PHK karyawannya dengan memberikan pesangon ini juga merupakan implikasi dari UU No. 13/2003 pada Pasal 163 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa: “(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)” serta “(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)”.

Tetapi sayangnya (kalau boleh menyatakan demikian, karena saya sendiri belum tau pasti apa solusi Menteri Sudirman Said dan Menteri Hanif Dhakiri terhadap masalah ini), karena ketentuan pada pasal UU di atas tidak mengatur secara detail mengenai status/kondisi perusahaan yang habis masa kontraknya. Karena akan menjadi tarik-ulur. Disatu sisi perusahaan jelas tidak ingin dianggap bahwa pihak perusahaanlah yang berinisiatif mem-PHK para karyawannya karena kenyataannya PHK kepada karyawan dilakukan atas dasar habisnya kontrak kerjasama perusahaan dengan pemerintah, sedangkan jika perusahaan dianggap melakukan ini akan kena konsekuensi nilai pesangon yang besar.

Sedangkan disisi lainnya, bila pihak pekerja yang dianggap mengundurkan diri karena habisnya masa kontrak kerjasama perusahaan maka pekerja tersebut dianggap tidak berhak atas pesangon dan hak lainya, tetapi yang didapat hanyalah uang pisah. Ini jelas dianggap para pekerja merugikan mereka dan tentunya tidak ada satupun pekerja yang akan mau melakukan dan menerimanya.

By the way intinya Pemerintah Pusat dan Daerah harus berpikir keras untuk menyelamatkan kesejahteraan masyarakat ditengah situasi krisis ini (in my opinion kesejahteraan masyarakat itu adalah hak asasi, jika siap menjadi Pemangku Kebijakan a.k.a. Pemerintah maksudnya.... berarti sudah siap ditanyai tanggungjawabnya untuk menyejahterakan rakyat, betul???. karena rakyat itu prinsipnya seperti istilah pribahasa: "seperti abu diatas angin" yang maknanya "keadaan suatu masyarakat itu tergantung dengan kebijakan penguasanya).

Permen ESDM No. 15/2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya memang tidak secara detil mengatur mengenai peralihan tenaga kerja bagi KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang berakhir masa kontraknya, terkecuali di Pasal 21 ada kalimat yang menyebutkan bahwa “Dalam hal Pertamina (Persero) diberikan persetujuan untuk melakukan pengelolaan, kontraktor wajib bekerja sama dengan pihak Pertamina (Persero) untuk mengambil langkah-langkah peralihan pengelolaan sebelum berakhirnya kontrak kerja sama antara lain terkait akses dan pemanfaatan data, aset, dan penggunaan tenaga kerja”. Nah... mudahan celah ini dapat menjadi titik terang bagi nasib kawan dan saudara kami yang tidak bisa tidak hanya berusaha memenuhi hajat hidupnya di sektor migas yang mudahan sebentar lagi bisa move on dari kelesuan. Amiiin... (untuk kata terakhir ini mudahan mengucapkannya secara berjemaah karena jika tercukupi 40 orang yang mengucapkannya... insyaallah bisa maqbul doanya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun