Gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar ini menyimpan pesona alam yang indah sehingga membuat puluhan hingga ratusan orang mendaki gunung ini setiap harinya. Eksotisme padang sabana Gunung Butak dan panorama matahari terbit dari puncak menjadi incaran pendaki gunung ini. Namun sayang, keindahan alam tersebut kini telah tercemar oleh hadirnya sampah yang kian bertambah.
Permasalahan sampah menjadi masalah seluruh gunung di Indonesia  yang dibuka untuk pendakian tak terkecuali di Gunung Butak. Sampah yang berserakan tidak hanya ditemukan di sabana atau pos 4, melainkan sudah di mulai sejak pos 1 dan sepanjang jalur.
Pada 3 Juli 2024 lalu, saya dan satu teman kuliah mendaki Gunung Butak. Saat melakukan registrasi di basecamp, saya diminta untuk meninggalkan KTP dan kami diberi kantong kresek sebagai wadah sampah. Kantong kresek tersebut wajib dibawa turun kembali sebagai syarat untuk mengambil KTP. Setelah diberi kantong kresek, kami langsung dipersilakan untuk melakukan pendakian. Tidak ada pengecekan barang dan logistik yang dibawa.
Sekitar 1,5 jam berjalan, kami sampai di pos 1. Di pos 1 terdapat fasilitas yang cukup lengkap mulai dari warung, musholla dan kamar mandi. Sampah terlihat menumpuk di sebelah warung. Namun saya berpikir jika sampah tersebut sudah menjadi urusan pemilik warung. Entah sampah itu nanti dibawa turun ke bawah atau dibakar yang penting sudah ada yang mengurus.
Perjalanan kami lanjutkan ke pos 2. Sampah juga ditemukan di sini meski sedikit, yakni berupa puntung rokok, bungkus permen dan tisu. Lanjut berjalan ke pos 3. Di pos 3 juga terdapat sebuah warung yang cukup ramai. Sama seperti warung di pos 1 tadi, tumpukan sampah lumayan banyak terdapat di belakang warung. Karena cuaca mulai gerimis, kami memutuskan untuk ngecamp di pos 3.
Mentari pagi mulai menyapa dibalik rimbunnya pohon cemara. Kami melanjutkan perjalanan ke pos 4 atau terkenal dengan sabana butak. Di tengah perjalanan, saya merasa kebelet pipis. Akhirnya saya mencari tempat buang air kecil yang tidak dekat dengan jalur pendakian. Saya melihat ada celah kecil di antara semak-semak. Sepertinya bekas orang-orang buang air. Saya berjalan ke tempat tersebut dan ternyata itu memang tempat buang air. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya sampah di tempat itu mulai dari tisu yang berserakan, hingga botol-botol plastik yang berisi air kencing. Sangat menjijikkan.
Akhirnya kami sampai di pos 4 atau sabana butak. Tempat itu berupa padang rumput yang luas dan indah. Pendaki bebas mendirikan tenda di mana saja. Lagi-lagi, keindahan tercemar dengan banyaknya sampah yang berserakan. Sampah-sampah tersebut kebanyakan terdiri dari botol bekas minuman, bungkus jajan, bungkis mie, tissu, bungkus tissu magic, kondom dan yang paling menjijikkan adalah botol berisi air kencing.
Permasalahan sampah ini timbul dari kurang sadarnya para pendaki akan kebersihan dan kelestarian alam. Jiwa-jiwa pecinta alam sama sekali tidak ada pada pendaki yang yang membuang sampah di gunung. Pendaki semacam inilah yang boleh dikatakan fomo, bahkan wajib dihujat dan dicaci maki. Karena masalah buang sampah sembarangan tidak hanya berlaku di gunung saja, melainkan di semua tempat tidak boleh membuah sampah sembarangan.
Jadi sebelum melakukan pendakian, tolong persiapkan mental dan kemampuan dengan sangat matang, terutama mental untuk membawa turun kembali sampah. Jangan hanya mempersiapkan outfit yang bermerek bagus tapi lupa mempersiapkan otak untuk memikirkan kebersihan gunung.
Selain dari sisi pendaki, pengelola juga harus memaksimalkan regulasi masalah sampah. Dengan hanya memberi pendaki kantong sampah tanpa ada pengecekan barang apa saja yang dibawa, pendaki bisa saja hanya membawa turun beberapa sampah atau malah mengambil sampah yang ditemukan di jalan, cuma sebagai syarat agar bisa mengambil KTP.
Pihak pengelola jangan hanya terima duit saja. Sudah seharusnya pengelola dan tukang ojek Gunung Butak melakukan pembersihan sampah di gunung dan melakukan pengetatan regulasi. Bisa dicontoh pengelolaan pendakian gunung sebelah yaitu Gunung Kawi dan Arjuno.Â