Sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa, Bengawan Solo menjadi saksi beragam peristiwa mulai dari zaman prasejarah hingga zaman moderen. Bengawan Solo menjadi urat nadi kehidupan bagi daerah-daerah yang dilaluinya. Transportasi, perdagangan dan irigasi telah dimainkan perannya oleh Bengawan Solo selama berabad-abad.
Namun dibalik pentingnya Bengawan Solo sebagai sumber kehidupan, sungai tersebut juga menjadi ancaman terutama bagi pemerintah kolonial Belanda. Bagaimana tidak, sungai yang bermuara di selat Madura yang sempit ini membawa material lumpur dan pasir yang begitu besar.
Pemerintah kolonial Belanda khawatir jika kondisi ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin selat madura akan tertutup oleh endapan material dari sungai Bengawan Solo sehingga kapal-kapal mereka tidak bisa lagi melintasi selat Madura. Rute kapal dari dan ke pelabuhan Surabaya harus memutari pulau Madura apabila selat Madura tertutup oleh endapan sungai Bengawan Solo.
Harriyadi, dalam jurnalnya “Sejarah Modifikasi Lanskap Hilir Sungai Bengawan Solo Pada Akhir Abad Ke 19” termuat di WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi, Vol. 22 No. 1, 2024, hal 45-66 menerangkan bahwa ancaman pendangkalan selat Madura akibat endapan Sungai Bengawan Solo telah menjadi perhatian pemerintah Kolonial Belanda sejak pertengahan abad 19.
Untuk mengatasi masalah pendangkalan di Selat Madura, pada tahun 1843 pemerintah kolonial menunjuk M.H Jansen untuk melakukan pengamatan terhadap kondisi perairan di kawasan tersebut. Selanjutnya, pemerintah membentuk sebuah komite melalui Keputusan Pemerintah tanggal 1 Maret 1844 No. 20 untuk menangani permasalahan ini.
Berdasarkan penyelidikan komite, aliran sungai Bengawan Solo yang bermuara di selat Madura membawa lumpur dan material lain yang dianggap sebagai penyebab pendangkalan. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi dari komite, termasuk dari M.H. Jansen, adalah memindahkan muara Bengawan Solo ke Laut Jawa.
Hasil penyelidikan tersebut disampaikan kepada Komandan Zeni Militer, Mayor Jenderal Jhr. C. Van der Wijk, pada 27 Juni 1844. Van der Wijk kemudian meneruskan laporan itu kepada Gubernur Jenderal Pieter Markus, yang selanjutnya mengirimkannya ke Menteri Negeri Jajahan, J.C. Baud. Namun, Pieter Markus meninggal dunia pada 2 Agustus 1844, dan posisinya digantikan oleh Jan Cornelis Reijnst.
Lebih lanjut, Harriyadi dalam jurnal tersebut menerangkan bahwa Proyek tersebut baru dilanjutkan kembali saat masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, dengan membentuk komite penyelidik untuk mempelajari kondisi perairan di Selat Madura selama satu tahun, dari 1846 hingga 1847. Komite ini merekomendasikan pengalihan muara Bengawan Solo ke Kali Miring, tetapi usulan tersebut ditolak oleh pemerintah pusat di Batavia.
Pada tahun 1855, upaya lanjutan untuk menangani pendangkalan di Selat Madura diserahkan kepada Komite Insinyur Hidrografi di Belanda. Komite ini mengeluarkan laporan tertanggal 11 Juni 1855 kepada Direktur Departemen Pekerjaan Umum (B.O.W.) untuk menyusun usulan bersama petinggi Angkatan Laut dan Angkatan Darat mengenai pembentukan komite baru dan pengamatan perubahan ketinggian permukaan air di Selat Madura. Laporan akhir diajukan pada 26 Juni 1858, nomor 1785, yang diatur dalam Keputusan Pemerintah tanggal 31 Agustus 1858, nomor 60. Keputusan tersebut memuat penundaan pembentukan komisi ahli serta instruksi kepada petinggi Angkatan Laut untuk melakukan pengamatan terhadap perubahan ketinggian permukaan air laut di Selat Madura setiap enam tahun.
Gagasan pembangunan kanal menuju Laut Jawa di perbatasan Keresidenan Rembang dan Surabaya sempat muncul, tetapi tidak terlaksana karena jaraknya yang jauh dan biaya yang sangat besar. Sebagai gantinya, direncanakan pembangunan kanal yang memotong aliran Bengawan Solo di Waringin Anom dan bermuara di Sidayu-Lawas. Kanal ini dianggap lebih pendek dan lebih hemat biaya dibandingkan dengan rencana sebelumnya. Estimasi biaya pembangunan kanal Waringin Anom ke Sidayu-Lawas diperkirakan mencapai f 11.000.000 dengan waktu pengerjaan sekitar sepuluh hingga dua belas tahun.
Menurut laporan yang termuat di surat kabar De Locomotief edisi 28 Juni 1881 berjudul Telegrammen dan edisi 7 November 1881 berjudul Staten Generaal, tingginya biaya dan lamanya waktu pengerjaan kanal dari Waringin Anom ke Sidayu-lawas membuat pemerintah mempertimbangkan alternatif pembangunan kanal dengan jarak lebih pendek. Salah satu opsi yang dikaji adalah pembangunan kanal menuju Ujung Pangkah.