Meski begitu, bukan berarti film ini tanpa kelemahan. Ada beberapa cerita menggantung (atau sengaja dibiarkan menggantung) sehingga terkesan tak selesai dan memberikan peluang cerita berikutnya. Contohnya, Dara menginginkan perceraian saat kuliah di Korea kelak. Keputusan ini diambil karena dia harus fokus pada masa depannya, selain karena dorongan  kuat dari orang tuanya. Tapi keinginan ini tetap mengambang hingga akhir cerita.
Selain itu, ketika Dara harus berpisah dengan bayinya karena berangkat ke Korea, menimbulkan tanda tanya tentang status pernikahannya dengan Bima. Tak ada statement yang muncul dari mulut mereka.Â
Entah cerita ini sengaja dimunculkan agar penonton lebih cerdas dalam membuat pilihan-pilihan sendiri atau untuk kepentingan komersial guna mempersiapkan sekuelnya.
Terlepas dari itu, film Dua Garis Biru memperlihatkan bahwa Gina sangat serius menggarap film ini. Meskipun ini adalah pengalaman pertamanya sebagai seorang sutradara, Gina berhasil keluar dari kelaziman sebuah film remaja. Dia tak hanya menyampaikan kegalauannya terhadap pergaulan bebas para remaja yang dianggap biasa oleh masyarakat tapi juga menggambarkan dampaknya seperti apa masa depan mereka.
Pesan tentang pengetahuan seks dan reproduksi sejak dini memang terdengar klise dan banyak dijumpai di brosur-brosur serta poster-poster yang menempel di dinding puskesmas atau rumah sakit. Akan tetapi terlihat berbeda, menarik, dan tidak lagi tabu ketika dibicarakan dalam film Dua Garis Biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H