Mohon tunggu...
Muhammad Bahruddin
Muhammad Bahruddin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Media dan Komunikasi Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya. Berminat pada penelitian media, politik, iklan, dan film. Saat ini sedang menyelesaikan program Doktoral Komunikasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jancuk dan Simbol Masyarakat Surabaya

8 Februari 2019   20:03 Diperbarui: 8 Februari 2019   20:19 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rengga sancaya-detikcom

Artinya, kata jancuk masih dimaknai sebagian besar masyarakat Surabaya dan sekitarnya sebagai ungkapan yang kotor, khususnya pada ranah formal. Mitos tentang jancuk belum bergeser di lingkungan yang dianggap sebagai tempat mendidik maupun tempat ibadah.

Ini berbeda ketika kata jancuk digunakan di warung, tempat nongkrong, atau tempat-tempat informal lainnya. Demikian juga dengan konteks keakraban dan kedekatan antarsahabat, kata jancuk kerap digunakan sebagai sebuah sapaan kepada teman yang sudah dianggap dekat. Makna konotasi jancuk sudah bergeser menjadi kata sapaan yang lazim digunakan sebagai percakapan sehari-hari.

Konteks inilah yang dibawa oleh pembawa acara dalam deklarasi Forum Alumni Jatim. Pemaknaan ini digunakan sebagai dasar untuk memberikan gelar Jokowi sebagai "Cak Jancuk". Artinya, pada momen ini makna jancuk bukan lagi sebagai makna kebencian, melainkan telah menjadi makna keakraban.

Konsep pemaknaan terhadap simbol tidak lepas dari ideologi dan kultural di mana simbol tersebut diciptakan. Secara ideologi dan kultural, penggunaan kata Jancuk dalam deklarasi pemenangan Jokowi di Surabaya membawa misi keakraban. Sebuah bentuk kata slank yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan suasana tersebut.

Roland Barthes menjelaskan bahwa dalam citra denotatif, karakteristik pesan literal tidak dapat bersifat substansial atau tetap, melainkan bersifat relasional atau terbentuk karena keterhubungannya dengan yang lain.

Maka sifat relasional yang dibawa oleh masyarakat Surabaya merujuk pada hubungan kedekatan antara Jokowi dengan masyarakat. Pemaknaan jancuk tak lagi berkaitan dengan makna secara definitif alias persetubuhan laki-laki dan perempuan. Tapi makna jancuk sudah lepas dari dirinya dan mengukuti makna relasinya.

Pada level ini, simbol tak bisa dimaknai secara isolatif dan terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol yang lain. Dia adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri.

Meski demikian, sebuah simbol harus hati-hati digunakan mengingat pergeseran atau perbedaan makna masih belum bisa diterima secara menyeluruh oleh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Sekalipun simbol bersifat relasional namun mitos jancuk sebagai ungkapan kotor di masyarakat masih mendominasi, khususnya di lingkungan keluarga, ruang-ruang formal, dan tempat-tempat ibadah. Ini karena makna jancuk berelasi dengan norma, budaya, dan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun