Situs resmi filmindonesia.or.id mencatat, hingga review ini ditulis, sebanyak lebih dari 5,8 juta penonton telah menjejali gedung bioskop untuk menyaksikan kerinduan Dilan pada Milea. Apa yang membuat film ini menarik?
Film Dilan 1990 keluar dari kerumunan film-film remaja mainstream saat ini. Jika sebagian film remaja melulu dengan konflik dan indahnya sebuah pacaran, maka Dilan muncul dengan bahasa-bahasa romantis dan tak harus mengumbar adegan pacaran yang kerap dilakukan anak-anak sekarang. Bahkan, setting Dilan boleh dibilang cukup monoton. Potret Bandung hanya direpresentasi oleh  bagian depan kampus ITB saja. Selebihnya, hanya gedung sekolah, kantin, dan rumah Dilan dan Milea.
Ini berbeda dengan sebagian besar film remaja saat ini. Setting film menjadi menu utama untuk menarik penonton. Suasana cinta kerap dikuatkan dengan tempat dan  pemandangan yang indah nan romantis. Bahkan tak jarang yang mengambil lokasi luar negeri untuk memanjakan mata penonton.
Tapi tidak untuk film Dilan 1990. Meski banyak yang menganggap sebagai sebuah gombalan anak laki-laki, suka atau tidak nuansa cinta yang diwakili oleh bahasa-bahasa romantis mampu merepresentasikan hati remaja. Terutama bagi mereka yang sedang jatuh cinta dan kasmaran.
Setting film yang dibuat tahun 90-an tak mengurangi keromantisan seorang remaja sekarang. Justru menjadi kekuatan yang mendukung film ini. Sebagian besar orang pasti sepakat bahwa yang paling kuat dalam karakter film ini adalah simbol bahasa. Rupanya penulis dan sutradara Pidi Baiq sangat menyadari betul bahwa bahasa selalu menjadi alat paling ampuh untuk mewakili hati dan perasaan, bahkan bisa memabukkan bagi yang sedang jatuh cinta.Â
Bahasa dan Kegombalan Dilan
Bahasa tak kenal masa. Terutama bahasa cinta, tak akan pernah usang dimakan usia. Dia akan selalu hidup di antara kerinduan seorang remaja yang sedang dimabuk asmara. Itulah kenapa bait-bait puisi tetap hidup lintas zaman. Sesuatu yang luput dari bidikan film-film remaja sekarang. Inilah uniknya film Dilan 1990. Â
Simbol-simbol  klasik yang mendukung seperti telepon umum, prangko, surat yang ditulis tangan, obat merah, bentuk dan dering telepon rumah yang khas, dan lain sebagainya, semakin menguatkan karakter film ini. Bahkan untuk usia yang sudah tak tergolong muda.
Secara komersial, film ini memang tidak hanya membidik remaja yang saat ini berusia SMA, tapi juga memberikan bonus pada orang yang berusia 40-an. Kenapa? Karena bagi penonton yang berusia 40-an, tahun 1990 adalah tahun di mana mereka tepat di usia SMA. Artinya saat ini usia Dilan sama dengan mereka, sekitar 43-44 tahun. Tentu hal ini menjadi peluang untuk membangkitkan kenangan terindah saat mereka mengenakan pakaian putih abu-abu dan pertama kali jatuh cinta. Ini sekaligus menjadi reuni bagi mereka.
Sementara bagi remaja sekarang, film Dilan 1990 justru  semakin terasa romantis karena simbol-simbol yang digunakan berbau klasik. Apalagi di tengah kecanggihan alat komunikasi yang mereka gunakan saat ini.
Seperangkat Kritik
Meski demikian, film ini tidak luput dari kekurangan. Misalnya, cerita seorang remaja yang jatuh cinta pada orang baru, selalu dilatarbelakangi dengan keburukan watak dari pacar lamanya. Ini terjadi pada Milea. Alasan klasik ini selalu digunakan untuk memutus pacar guna berganti dengan pacar baru sehingga tampak rasional dan tidak jahat. Cerita cinta ini cukup basi dan selalu menjadi konsumsi film remaja dan sinetron televisi. Â
Selain itu, dandanan menor Milea dan teman-temannya di SMA cukup mengganggu karena bisa mengurangi kenaturalan seorang siswa. Ini berbeda dengan siswa-siswa SMA dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Wajah Cinta (Dian Sastro) dan teman-temanya tampak natural, tanpa polesan kosmetik yang tebal. Karena memang begitulah semestinya seorang siswa SMA, apalagi pada tahun 1990.
Sementara sejumlah kritikus mengkritik tentang adegan ugal-ugalan dan tak mengenakan helm saat di jalan raya. Pada tahun 1990 memang penggunaan helm di jalan raya tak seketat sekarang, apalagi harus pakai helm SNI. Juga tentang kata-kata Dilan yang menyebut gurunya, Pak Suripto, yang mencintai Milea. Adegan ini dianggap melecehkan institusi pendidikan. Apalagi sampai ada kata-kata "Membakar sekolah".Â
Namun kalau kita melihat film sebagai representasi dari fakta sosial, mestinya kritik itu tak pernah ada. Kecuali memang benar-benar dianggap sebagai adegan vulgar.
Terlepas dari itu semua, film ini cukup mengocok perut dengan humor-humor natural, mengharu biru untuk sebuah perjuangan cinta, dan tentu saja membawa kita kepada romantisme, ke alam asmara yang dimabuk dengan puisi-puisi pujangga yang sedang jatuh cinta. Sekalipun terkesan gombal! Sampai bertemu di Dilan 1991.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H