Mohon tunggu...
M.Mu'azzin Fauzi
M.Mu'azzin Fauzi Mohon Tunggu... -

pensil yang pendek lebih berharga dari ingatan yang panjang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jabatan Publik; Pragmatisme Versus Idealisme)*

5 Mei 2014   18:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jabatan publik dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah penting dan menjadi sebuah keharusan (das solen) manakala negara diterjemahkan sebagai entitas organik perjuangan untuk tujuan memberikan pelayanan terbaik (good service) terhadap warganya (citizen). Negara (state) ini digagas atas dasar kesepakatan sadar dan cerdas putera-putera terbaik bangsa kala itu, melalui perjuangan dan pengorbanan panjang yang melelahkan (korban jiwa,raga dan materi). Para pejuang pra kemerdekaan telah berkontribusi luar biasa meraih kemerdekaan, sampai negara ini lahir dan merdeka dengan nama Indonesia. Dalam masa transisionalnya, Indonesia melalui pemerintahan saat itu melakukan berbagai penataan pemerintahan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warganya.

Kini usia Indonesia 69 tahun berjalan pasca kemerdekaan. Faktanya telah banyak melakukan pembangunan di berbagai bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Periodesasi pemerintahan telah beberapa kali dilakukan melalui hajatan momentum politik yang populer dengan istilah pemilu (pemilihan umum). Pemilu pertama dilakukan pada tahun 1955 dengan multi partai seperti pemilu saat ini. Kepentingannya (intresting) adalah untuk membangun konsensus nasional dalam rangka efektifitas penyelenggaraan pemerintahan negara untuk pelayanan publik (public service). Bisa dirasakan kentalnya aura dan spirit nasionalisme dan patriotisme yang mendasari perjuangan politik di periode awal lahirnya negeri ini. Bisa dipastikan kondisi politik yang lahir dari iklim nasionalisme dan patriotisme yang tinggi akan melahirkan pejabat publik yang berintegritas, kapabel dan bertanggung jawab.

Bagaimana halnya dengan iklim perpolitikan kita saat ini? Masihkah rasa nasionalisme-patriotisme mendasari setiap warga negara dalam menunaikan hajatan politiknya di semua level? Hajatan politik (pemilu) belum lama berselang penyelenggaraannya di negara ini. Hiruk pikuk publik dalam dinamika perdebatan korektif dan pemikiran alternatif solusi konstruktif terkait buramnya potret penyelenggaraan politik praktis kali ini menjadi sebuah jawab atas pertanyaan reflektif diatas tadi. Nyaris di semua daerah tercium aroma politik transaksional (jual beli) suara, yang melibatkan konstituen, kontestan dan penyelenggara pemilu yang telah dilakukan secara massif.

Beberapa waktu lalu KPK melansir hasil survey yang mencengangkan, tentang persepsi publik kaitannya dengan poltik uang. 70,72% secara nasional, masyarakat menganggap politik uang (money politic) itu lumrah. Masyarakat NTB-Mataram berada pada posisi angka 44,40%. Fakta paradigma publik tentang politik saat ini mengisyaratkan, bahwa paradigma publik telah mengalami pergeseran nilai substansial dan prinsip dari paradigma politik transendental-sebagai arena berkompetisi memperjuangan kemaslahatan publik-menjadi politik industrial untuk kepentingan pragmatisme jangka pendek-gengsi soial dan kepentingan kelompok-semata. Pada tataran realitas politik kekinian yang memprihatinkan disandingkan dengan konsep dan cita-cita bernegara, tindakan kebijakan strategis (strategic polecy) apa yang hendak diambil oleh penyelenggara negara untuk menyelematkan bangsa besar ini kedepannya?

Banyak pihak merekomendasikan agar hasil pemilu kali ini dianulir dan dibekukan karena telah mencederai prinsip pemilu yang LUBER JURDIL. Mencederai prinsip penghargaan atas hak politik warga negara. Pun hasilnya berpotensi unlegitimate karena telah berpotensimelahirkan pejabat publik yang tidak kapabel dan tidakberintegritas. Saat ini publik kebanyakan memaknai jabatan publik adalah kepentingan pragmatisme. Dan pemilu kali ini adalah bukti nyata terjadinya politik pragmatik yang berujung pada kondisi pemilu yang karut sengkarut. Sehingga tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana ikhtiar membangun kembali mentalitas dan cara pandang publikkaitannya dengan jabatan publik. Meletakkan jabatan publik sebagai arena pembuktian keamanahan seseorang dalam konteks pengabdian untuk negara adalah urgen dilakukan oleh semua pihak.

Idealisme dan pragmatisme adalah dua terminologi mental dan cara pandang yang abstrak. Tak mudah dibaca karena bukan tulisan . Pun tidak gampang dilihat karena tidak berwujud. Tetapi dapat di maknai dan didefinsikan dari tindakan dan perbuatan sehari-hari seseorang. Sejak seseorang (pejabat publik) dilantik dan mengucap janji serapah di hadapan publik , maka komitmen dan konsistensinya dalam arena memperjuangkan kepentingan publik tidak boleh tergerus dan tergeser sejengkal pun, sampai usai masa pengabdiannya secara formil. Sebagai wujud tanggung jawab sosial-moral pejabat publik ketika kembali menjadi masyarakat biasa, keteladanan karakter idealisme komitmennya dalam konteks perjuangan harus tetap terjaga sebagai sumber inspirasi dan spirit yang diteladani publik.

Dalam konteks pemilu kita saat ini para kontestan ramai mengikuti perhelatan “sakral” politik (pileg). Dari ragam latar belakang sosial-ekonomi dan sosial-profesi. Pun para petahana (anggota dewan aktif saat ini) tak mau ketinggalan turut mengambil bagian untuk keterpilihannya pada periode mendatang. Baik yang masih tetap memilih di dewan tingkat kabupaten atau yang bidikannya berpindah ke level propinsi sampai pusat. Publik mengasumsikan para kontestan dari petahana dipastikan memiliki seabreg pengalaman politik praktis di tingkat lapangan. Dan akan sangat potensial keterpilihannya kembali berpihak pada kebanyakan petahana. Kenyataan politik kali ini mengungkapkan fakta berbeda. Banyak petahana yang gagal menduduki kursi “panas” dewan kali ini. Entah apa sebab?

Menurut hemat penulis, tidak terpilihnya caleg petahana kembali menduduki kursi dewan adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi petahana sendiri dan publik tentunya. Uji keteguhan memegang dan mempertahankan idealisme di satu sisi dan tetap semangat dalam spirit perjuangan pengabdian terbaik untuk negara sampai akhir masa jabatannya,di sela kemampuannya mengelola fikiran dan hati dalam menyikapi kegagalan keterpilihannya kembali kali ini.

Seberapa mudahcaleg petahanagagal dalam momentum pileg kali ini, akan mempertahankan idealisme pengabdiannya untuk negara? Ternyata tidak mudah memegang idealisme dan keberpihakan untuk publik dalam kondisi dimana seharusnya ditunjukkan oleh caleg petahana. Paling tidak Kondisi ini terlihat seperti yang dilansir surat kabar Lombok Post, diberitakan bahwa sejumlah ketidakhadiran anggota DPRD NTB dalam sidang paripurna yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 30 April 2014. Dari 55 jumlah anggota legislatif DPRD NTB periode 2009-2014, hanya 33 orang yang menghadiri sidang paripurna, dengan agenda pembahasan empat ranperda. (Baca Harian Lombok Post edisi 2 Mei 2014). Agar publik ikut tercerahkan dalam kondisi publik sedang mengalami krisis mentalitas kultur berpolitik adiluhung yang sangat mengkhawatirkan (moral hazard). Maka pejabat publik harus memaknai jabatan publik tidak sebagai kepentingan pragmatisme. Akhiri waktu jabatan yang tersisa tinggal beberapa bulan lagi kedepannya dengan menonjolkan keteladanan pejabat publik yang patut dibanggakan dan menjadi suri tauladan yang baik (husnul khotimah) bagi anggota dewan baru yang akan menggantikan posisinya dan untuk publik tentunya. Perjuangan berbekal idealisme untuk mengkawal perubahan yang lebih baik ke depan tak melulu harus melalui lembaga formil semata. Pergerakan ekstra parlementer juga arena perjuangan strategis dan mulya dalam rangka menegakkan keadilan bersama.Semoga.

)* Tulisan ini telah dimuat di SKH Lokal Lombok Post pada tanggal 5 Mei         2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun