Mohon tunggu...
Muarrifuzzulfa
Muarrifuzzulfa Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja profesional di rumah sakit Jerman

Kesederhanaan. Suka membaca buku, mendengar, bertukar pikiran dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kebahagiaan di Era Disrupsi

19 Juni 2024   16:14 Diperbarui: 11 Juli 2024   12:52 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebahagiaan di Era Disrupsi*

Oleh: Mu'arrifuzzulfa

Bayangkan anda sedang sendiri tidak ada teman sama sekali barada pada situasi perang. Semua peralatan perang seperti bermacam-macam alat penembak dan peluru anda miliki semua. Semuanya melekat pada diri anda. Peluru berada di saku celana bagian kiri dan kanan. Beberapa alat penembak berada di tas rangsel yang sedang anda bawa di punggung. Anda siap untuk menghadang para musuh yang berada di depan. 

Untuk saat ini anda masih bisa duduk sambil minum air yang berada di botol yang anda siapkan untuk bertempur. Satu orang musuh mulai mendekati dan anda mulai panik. Kemudian anda menembaknya. Musuh itu mati dan kemudian datang dua orang musuh dari depan dan anda menembaknya kemudian mereka mati. Tiga orang musuh berdatangan dari kanan, kiri dan depan menuju anda. Anda kemudian menembaknya kemudian mereka mati. 

Begitu seterusnya empat musuh datang dan sampai dua puluh musuh datang. Sampai anda mengatakan ini terlalu banyak, saya sendiri dikepung oleh puluhan musuh bersenjata dan saya sudah tidak bisa mengontrol diri, saya tidak bisa melawan mereka meskipun peralatan saya lengkap berada melekat ditubuh saya, saya kualahan menghadapi mereka, mungkin ini waktunya saya menyerahkan diri kepada mereka.

Dari ilustrasi diatas, kapan pikiran anda relatif tenang? Pada kondisi tidak ada musuh dan anda masih bisa minum air, atau disaat anda sedang sendirian dikepung oleh puluhan musuh? Pasti anda akan mengatakan disaat tidak ada musuh. Benar, pada saat itu pikiran kita masih sangat tenang karena tidak ada tekanan. 

Kita masih bisa melihat keadaan-keadaan disekeliling kita, jika seandainya ketika itu kita berada di hutan, maka kita akan dapat merasakan ketenangan karena tidak ada seseorangpun disana, kita akan dapat mendengarkan kicauan burung di hutan tersebut. 

Tetapi jika kita dikepung oleh berbagai musuh dan kita tidak dapat berkutik, maka pikiran kita tidak akan tenang, kita tidak akan bisa memikirkan apa-apa kecuali menyerahkan diri atau mati. Kita tidak bisa mengontrol diri. We don't have a power.

Begitulah keadaan zaman sekarang. Keadaan dimana pada dasarnnya kita dapat merasakan dan menikmati ketenangan jiwa, tidak ada musuh sama sekali, tidak ada seseorangpun yang mengganggu kita, dan secara tiba-tiba satu persatu orang itu datang menghampiri kita, tidak peduli apakah itu orang baik atau buruk. 

Semakin banyak orang-orang datang secara bersamaan kepada kita tanpa ada tujuan yang jelas, maka kita mempunyai potensi untuk tidak bisa mengontrol diri. Bayangkan anda mendapatkan setiap harinya seratus orang tamu yang datang kerumah anda. Apakah anda kualahan? Pastinya iya. Tapi anda mempunyai potensi untuk tidak menerima mereka dengan cara menutup pintu rumah anda. Di zaman sekarang pintu rumah itu bernama Smartphone.

Smartphone memberikan kebebasan kita untuk mendownload aplikasi-aplikasi yang kita butuhkan, dari yang bersifat pendidikan sampai hiburan. Aplikasi-aplikasi itu adalah diantaranya sosial media. Sosial media datang membawa informasi-informasi dari yang kita butuhkan bahkan lebih banyak yang tidak kita harapkan datang perlahan-lahan kepada kita. Informasi-informasi itu adalah tamu-tamu sesuai ilustrasi diatas. 

Pagi hari kita mendapatkan satu informasi, tidak lama setelah itu kita mendapatkan informasi selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya sampai dalam satu hari penuh kita tidak mengetahui dan tidak pernah menghitung berapa informasi yang kita dapat dalam satu hari ini. Bahkan yang lebih parahnya kita tidak bisa mencerna informasi-informasi yang datang tanpa kita harapkan tersebut. 

Semakin banyak informasi yang kita dapat, semakin kita tidak bisa mencerna, semakin banyak tamu yang kita terima dalam satu hari, maka semakin sedikit waktu kita untuk bersih-bersih rumah, menata rumah dll. 

Begitu juga semakin banyak informasi yang kita dapat semakin kita kualahan dan tidak ada waktu untuk diri kita sendiri. We lose control of ourselves. Tidak ada waktu untuk sekedar duduk sendiri di pinggir sawah di bawah pohon yang rindang, di hutan atau ditempat yang tenang hanya untuk sekedar merenung dan menikmati tarikan nafas dari udara yang sejuk, mereflesikan kegiatan-kegiatan hari-hari terakhir, lalu mencari pelajaran dan memberi apresiasi dari semua kejadian yang dialami. Pada dasarnya sosial media diciptakan agar manusia saling terkoneksi satu sama lain. Dan faktanya sekarang, banyak orang yang merasa terisolasi dan terdiskoneksi dengan dunia nyata, apakah ini tidak ironik?

Ini bukan tentang sebarapa manfaatnya sosial media itu untuk setiap dari kita. Ini mengenai bagaimana ternyata otak kita memerlukan waktu untuk istirahat dan tidak memerlukan lagi informasi-informasi yang berselancar tanpa kontrol di media sosial. Algoritma bukanlah makluk hidup. Algoritma tidak mempunyai kesadaran, oleh karenanya mereka berselancar tidak beraturan di media sosial. Kita sebagai makhul hidup yang mempunyai emosi, adalah yang dapat mengontrol ini semua.

Cukuplah kita mengahadapi dua tiga musuh dalam satu hari, dan kemudian kita renungkan apa saja yang dapat pelajari dari musuh tersebut untuk diambil pelajaran. Cukuplah kita menerima dua tiga tamu dan kembali membereskan urusan rumah. Cukuplah kita menerima dua tiga informasi yang bermanfaat dari media sosial yang kemudian kita pelajar lebih mendalam dan dapat kita ambil pelajarannya.

Jika kita tidak berlebihan dalam segala hal, maka kita akan memiliki ketenangan. Jika kita berada dalam ketenangan pada era disrupsi ini, maka kita akan lebih mudah untuk berfikir secara jernih dan cemerlang. Jika kita bisa berfikir secara jernih, maka kita akan dapat megucapkan syukur dan menerima apa saja yang terjadi pada saat ini. 

Jika kita dapat bersyukur dan menerima apa saja yang terjadi pada kita, maka kita tidak akan menyalahkan diri kita tentang masa lalu kita dan kita tidak akan ada kekahwatiran pada masa yang akan datang. Jika kita sudah memaafkan masa lalu kita, kita dapat hidup pada momen saat ini, dan tidak ada kekhawatiran mengenai masa depan, maka disitulah titik kebahagiaan.

Kebahagian di era disrupsi hanya tercapai jika kita dapat berbicara dengan diri kita sendiri. Berbicara secara jujur kepada diri sendiri, memberikan penghormatan kepada diri, memberikan apresiasi kepada diri sendiri, mencintai dan menerima diri sendiri  seperti kita apa adanya itu adalah kunci kebahagian. Kita seharusnya adalah orang pertama paling mengetahui siapa diri kita dan bukan orang lain, karena kita lahir dan berkembang dengan diri kita sendiri.

Mana yang kita ingin pilih? Mempunyai jutaan follower di media sosial yang tidak semua mengenal kita atau kita mempunyai satu orang yang siap menerima sebagaimana kita apa adanya dan tidak akan dijustifikasi darinya, dan dia adalah diri kita sendiri.

*Ditulis pada 18 Juni 2024 di Stuttgart, Jerman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun