Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Diam Menjadi Pilihan

11 Mei 2022   11:38 Diperbarui: 11 Mei 2022   11:47 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diam adalah perbuatan yang tampak dari berhentinya sebuah pembicaraan. Perbuatan ini tentu saja disengaja dan jelas menjadi pilihan individual sebagai reaksi atas persoalan yang muncul di hadapannya. Diam bisa timbul dari keadaan tertentu yang tampak dari adanya peristiwa di sekitar manusia yang mempengaruhinya dan dirasakan sebagai hal yang membuatnya tidak sanggup berbicara. 

Ketidaksanggupan ini boleh jadi karena malas untuk berbicara atau sebab peristiwa yang dihadapi begitu menggunjang hatinya sehingga membuat manusia tak mampu berkata-kata. 

Hakikat diam itu sendiri sesungguhnya belum sepenuhnya diartikan diam dalam arti tak berkata apa pun. Diam bisa jadi hanya tidak sanggup berbicara melalui mulut yang bersuara. Akan tetapi di dalam hatinya seseorang mungkin berbicara. Adakah manusia benar-benar dapat diam dalam pemahaman sama sekali tidak berkata-kata sekalipun dalam hati?

Perbuatan diam dapat berimplikasi bagi manusia lain dan dapat pula berdampak pada individu sendiri yang diam. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Bahkan bila manusia berada dalam keadaan didiamkan, tentu saja kita akan bertanya mengapa demikian. 

Didiamkan oleh orang lain sungguhnya teramat manyakitkan, terlebih-lebih bila pendiaman itu tidak diringi dengan penjelasan atau alasan perlunya orang lain harus didiamkan. 

Haruskah kita diam ketika kita didiamkan oleh orang lain? Inilah hakikat dari sajak yang ditulis Sapardi Djoko Damono dengan judul "Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini". Mari kita membacanya.

Ketika kita membuka buku ini apakah lembaran-lembaran

kertas ini bertanya untuk apa?

Ketika kita berjalan-jalan sore hari apakah trotoar bertanya

mau ke mana?

Ketika kita diam dan tidak berbuat apa pun apakah hati

kita suka bertanya kenapa?

Membaca sajak tersebut barangkali kita menemukan kesederhanaan pengucapan Sapardi. Ia hanya berbicara perihal perbuatan diam, yang tentunya di dalamnya terdapat tindakan mendiamkan diri sendiri atau mendiamkan orang lain. Karena cara Sapardi menyajikan sajak ini secara tidak lazim, maka pembaca akan menemukan hal menarik dari sajak tersebut. Sajak tersebut terdiri atas tiga bait. Bait pertama dan bait kedua disajikan Sapardi dalam kesejajaran makna yang sama. 

Tentu saja bila kita menjawab akan muncul jawaban bahwa "lembaran-lembaran kertas ini" dan "trotoar" mustahil akan bertanya kepada kita. Karena keduanya memiliki sifat kebendaan semata. "Lembaran-lembaran kertas ini" dan "trotoar" jelas tidak memiliki hati, tentu saja tidak terkandung adanya perasaan dalam diri benda. 

Berbeda halnya bila kita membaca bait yang ketiga. "Kita" bukan lah benda yang menerima begitu saja keadaan yang kita alami, termasuk keadaan kita yang diam (mendiamkan/didiamkan). Diamnya manusia bukan lah diam benda-benda yang tidak berhati nurani. Manusia yang diam (yang berpersaan dan berakal) tentu akan bertanya dalam hatinya mengapa kita diam dan tidak berbuat apa pun. 

Sebaliknya, manusia yang tidak pernah bertanya dalam hati mengapa dirinya diam dan tidak berbuat apa pun, sesungguhnya merupakan manusia yang hakikatnya sama dengan dunia benda.

Manusia lahir atas fisik dan jiwa. Manusia tercipta dari jasmani dan rohani. Ketika manusia dalam kehidupannya hanya mementingkan jasmani semata-mata, sesungguhnya lah manusia itu telah kehilangan kerohaniannya. Ketika kerohaniannya telah hilang, manusia tak lebih dari benda mati yang tak berhati nurani. 

Perbuatan diam yang kita lakukan hendaklah menjadi proyeksi diri dari manusia yang memiliki alasan logis untuk diam. Bukan hanya tindakan berbicara saja yang harus punya alasan, perbuatan diam pun mengharuskan adanya sebuah alasan untuk menyatakan mengapa kita harus diam. 

Bila suatu ketika kita berhadapan dengan manusia yang diam dan sama sekali tidak mau berbuat apa pun, masihkah kita bisa mengatakan ia makhluk yang memiliki perasaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun