kita suka bertanya kenapa?
Membaca sajak tersebut barangkali kita menemukan kesederhanaan pengucapan Sapardi. Ia hanya berbicara perihal perbuatan diam, yang tentunya di dalamnya terdapat tindakan mendiamkan diri sendiri atau mendiamkan orang lain. Karena cara Sapardi menyajikan sajak ini secara tidak lazim, maka pembaca akan menemukan hal menarik dari sajak tersebut. Sajak tersebut terdiri atas tiga bait. Bait pertama dan bait kedua disajikan Sapardi dalam kesejajaran makna yang sama.Â
Tentu saja bila kita menjawab akan muncul jawaban bahwa "lembaran-lembaran kertas ini" dan "trotoar" mustahil akan bertanya kepada kita. Karena keduanya memiliki sifat kebendaan semata. "Lembaran-lembaran kertas ini" dan "trotoar" jelas tidak memiliki hati, tentu saja tidak terkandung adanya perasaan dalam diri benda.Â
Berbeda halnya bila kita membaca bait yang ketiga. "Kita" bukan lah benda yang menerima begitu saja keadaan yang kita alami, termasuk keadaan kita yang diam (mendiamkan/didiamkan). Diamnya manusia bukan lah diam benda-benda yang tidak berhati nurani. Manusia yang diam (yang berpersaan dan berakal) tentu akan bertanya dalam hatinya mengapa kita diam dan tidak berbuat apa pun.Â
Sebaliknya, manusia yang tidak pernah bertanya dalam hati mengapa dirinya diam dan tidak berbuat apa pun, sesungguhnya merupakan manusia yang hakikatnya sama dengan dunia benda.
Manusia lahir atas fisik dan jiwa. Manusia tercipta dari jasmani dan rohani. Ketika manusia dalam kehidupannya hanya mementingkan jasmani semata-mata, sesungguhnya lah manusia itu telah kehilangan kerohaniannya. Ketika kerohaniannya telah hilang, manusia tak lebih dari benda mati yang tak berhati nurani.Â
Perbuatan diam yang kita lakukan hendaklah menjadi proyeksi diri dari manusia yang memiliki alasan logis untuk diam. Bukan hanya tindakan berbicara saja yang harus punya alasan, perbuatan diam pun mengharuskan adanya sebuah alasan untuk menyatakan mengapa kita harus diam.Â
Bila suatu ketika kita berhadapan dengan manusia yang diam dan sama sekali tidak mau berbuat apa pun, masihkah kita bisa mengatakan ia makhluk yang memiliki perasaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H