Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Personifikasi dari Tafsir yang Tak Pernah Berhenti

22 Maret 2022   09:34 Diperbarui: 22 Maret 2022   09:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

       Penyair penuh vitalitas, penyair binatang jalang, seniman bohemian, seniman pembaharu adalah sederet personifkasi yang pembaca letakan atas sosok Chairil Anwar. Oleh "penemunya", Chairil merupakan penyair revolusioner Indonesia dan pelopor Angkatan 45. Bagi seniman berhaluan kiri yang pro komunis, kepenyairan Chairil bertentangan dengan faham sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Soekarno. Bagi pengkritik kerasnya, Chairil adalah penyair plagiat. Bagi penyokongnya, mereka berusaha untuk menepis anggapan plagiasi Charil dengan berusaha mengupas kreativitas Chairil dalam beberapa sajak terjemahannya, sebagaimana yang dilakukan Abdul Rozak Zaidan. Demikian pun Sapardi Djoko Damono yang melihat sajak saduran "Krawang-Bekasi" dan menilai Chairil sebagai penyair yang tidak dikuasai sepenuhnya oleh (teks) yang dibacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasinya. Terlepas dari itu Chairil telah menjadi simbol, sekaligus mitos, dalam kesusastraan Indonesia.

       ".... Apa sih yang membuat Chairil menyebut dirinya itu binatang jalang. Dan akhirnya saya temukan. Chairil itu punya dendam masa lalu pada orang yang dicintainya. Makanya dia harus jadi binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang'. Demikian pernyataan Sergius Sutanto, penulis buku Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta, sebuah novel yang mengangkat kehidupan Chairil dari masa kecil hingga kematiannya. Bagi saya, apa yang diungkap Sutanto dalam pernyataannya itu sangatlah menarik. Setidaknya dalam disiplin interpretasi teks, Sutanto telah berhasil mengungkap fakta untuk sebuah fiksi. Apa yang dilakukan Sutanto ternyata telah mengubah dunia puisi yang multi interpretasi menjadi dunia teks yang tertutup. Larik puisi yang berbunyi Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang setidaknya telah menjadi teks tunggal di tangan Sergius Sutanto.

       Sejatinya sebuah karya dan biografi pencipta memberikan peluang yang lebih longgar untuk pembaca mana pun memasukinya. Dalam dunia pembaca yang pluralis tidak ada dunia tunggal yang memliki otoritas tertentu untuk menghentikan langkah pembaca memberikan tafsir. Sebagai sebuah biografi, Charil Anwar adalah dunia fakta yang dalam proses kreatif puisinya, bisa jadi melatarbelakangi kelahiran karya-karyanya. Namun, ketika dunia puisi yang fiksi telah dihadapkan pada fakta, puisi akan kehilangan ruang dialognya.

       Saya terhibur dengan cara Saifur Rohman membaca Chairil Anwar ketika dia menghadirkan novelnya yang bertolak dari kehidupan dan karya Chairil Anwar. Melalui bukunya yang berjudul Manusia Seribu Tahun, Saifur Rohman memadukan antara pemahamannya tentang puisi dengan biografi Chairil. Melalui novel Manusia Seribu Tahun, Saiful Rohman tidak ingin mengatakan tentang manusia yang memiliki umur yang panjang. Akan tetapi ingin menghadirkan seorang Chairil Anwar yang memiliki harapan-harapan yang baik di sepanjang hidupnya. Melalui novel ini, Saiful ingin agar pembaca mampu memaknai hidup dengan baik sehingga menghasilkan nilai-nilai positif untuk dirinya dan orang lain (badanbahasa.kemendikbud.go.id, 2017).

       Bila kedua buku tersebut menghadirkan Chairil Anwar dalam bentuk novel,  buku yang ditulis oleh Hasan Aspahani berjudul Chairil (penerbit Gagas Media, 2016) dihadirkan di hadapan pembaca sebagai buku biografi. Melalui buku Chairil, Hasan Aspahani ingin menunjukan etos kerja Chairil sebagai pembelajaran hidup bagi kita. Sayangnya, buku berjudul Chairil ini ternyata tidak bisa keluar dari tafsir puisi-puisi Chairil Anwar berdasarkan latar penciptaannya. Meskipun demikian, buku ini mampu memberikan kejelasaan sudut pandang. Hasan Aspahani mengungkap kekayaan bahasa puisi Chairil sebagai hasil dari pemilihan diksi yang ketat. Benar bila Hasan Aspahani melihat etos kerja kesenian Chairil Anwar.

       Terlepas dari kelemahan novel Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta atau buku biografi Chairil, sosok Chairil Anwar mampu menghadirkan personifikasi dengan beragam tafsir. Dengan sisi mata baca kita, mari kita tak berhenti memberi beragam tafsir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun