Saya selalu saja dibuat kagum pada Ignas Kleden, seorang sosiolog yang juga cerdas dalam mengulas puisi. Tafsir-tafsirnya atas puisi-puisi  Goenawan Mohamad, WS. Rendra, Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, atau Mochtar Pabotinggi sungguh menarik. Setidaknya dengan caranya memberi tafsir, Ignas -bagi saya- telah mengajarkan satu nilai penting dalam kritik puisi, bahwa puisi perlu dipahami dengan sama dahsyatnya dengan puisi yang ditafsirkan. Perasaan seperti ini muncul dalam diri saya ketika Ignas memahami puisi karya Dorothea Rosa Herliany yang berjudul "Buku Harian Perkawinan". Mari kita baca kalimat-kalimat tafsir yang dituturkan Ignas Kleden berikut:
"Perjuangan menentang patriarki dilakukan dengan cara mempersoalkan, menegaskan, dan mendekonstruksikan pranata yang secara tradsional menjadi alat untuk membenarkan dan melestarikan dominasi kaum laki-laki dalam perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Kombinasi cinta dan kesetiaan, yang biasanya diasumsikan menjadi landasan utama kerukunan keluarga, secara eksplisit disangkal dan ditolak. Untuk memperebutkan kesataraan gender, perempuan -sebagai tokoh liris dalam sajak-sajak ini- diajak, ya, bahkan dihasut, untuk mengambil alih posisi dominan tersebut dalam suatu interaksi dialektis. Cinta bukanlah kemesraan dan penyerahan diri yang lembut, tetapi pertarungan dan bahkan peperangan, di mana semua gairah dan hawa nafsu dikerahkan bagi armada hewan-hewan liar. Lawan bertarung tidak saja harus dikalahkan, tetapi harus diselesaikan secara kanibal. Puncak rasa lapar dihadapkan pada suguhan daging di atas meja makan. Pemberontakan gender tampil sebagai antitese yang keras, yang mudah-mudahan menelurkan kesetaraan baru antara laki-laki dan perempuan, sebagai sintesanya." (2004:323).
Siapa pun pembacanya, mungkin bersepakat bila puisi karya Dorothea Rosa Herliany yang berjudul "Buku Harian Perkawinan" menyajikan motif perjuangan menentang patriarki.
Saya  tidak ingin menyangkalnya karena aku-lirik dengan gamblang mengakui kalau "aku menikahimu tidak untuk setia". Tentu saja ketidaksetiaan yang dipahami sebagai penolakan atas pembenaran dan pelestarian dominasi laki-laki dalam perkawinan dan kehidupan berkeluarga, seperti yang dikatakan Ignas Kleden.
Demikian pula dengan identifikasi berani dari seorang perempuan yang menyebut dirinya sebagai "panglima untuk sepasukan hewanhewan liarku". Dalam baris puisi ini terkandung gejolak yang maha dahsyat untuk melawan. Saya merasakan seperti sedang berhadapan dengan sesosok perempuan (istri) yang marah sampai-sampai meletakan laki-laki (suami) layaknya hidangan yang tersaji di atas meja makan yang harus santapnya. Sungguh keras jalan yang harus dipilih perempuan dalam kehidupan rumah tangganya. Ketika perempuan hidup bersama laki-laki ("kudekap engkau"), ia sesungguhnya menerima dalam keterpaksaan ("sekarang biarlah") meski pada akhirnya keputusan harus diambil: "kulunaskan puncak laparku!"Â
Bagi saya, ini puisi Dorothea yang maha dahsyat kerasnya dalam melawan dominasi kesombongan laki-laki. Bahkan terasa lebih keras dari apa yang pernah dilakukan oleh Nawal el-Saadawi dalam novel "Memoar Seorang Dokter Perempuan". Perhatikanlah el-Saadawi menulis:
" ... di sinilah, di hadapanku terbaring tubuh lelaki yang telanjang bulat, jelek serta telah terpotong-potong. Tak dapat kubayangkan, sedemikian cepat kehidupan memberiku bukti betapa salahnya pandangan ibuku, atau memberiku kesempatan untuk membalas dendam terhadap laki-laki yang dengan menjijikan memandangi payudaraku beberapa waktu yang lalu, seakan-akan ia hanya dapat melihat itu saja, .... Kini, di sini, berdirilah aku menusukan panah-panah tajam langsung ke dadanya. Di sinilah kupandangi jenazah lelaki yang telanjang bulat itu dengan perasaan mau muntah, lalu kupotong-potong jenazah itu dengan pisau bedah yang tergenggam di tanganku." (1990:23)
Memang, terasa lebih mengerikan deskripsi yang diberikan Nawal el-Saadawi dalam novelnya. Ia melampiaskan dendamnya pada sosok laki-laki melalui tubuh yang dipotong-potongnya. Gambaran kengerian melalui pilihan kata-kata itu amat terasa. Meski demikian, kemarahan yang ditunjukan oleh sa-Daawi amat berbeda dengan kemarahan Dorothea. Apabila sa-Daawi hanya memotong-motong jenazah laki-laki sebagai representasi perlawanan atas kesewenang-wenangan laki-laki, Dorothea dalam puisinya justru melahap tubuh laki-laki sebagai hidangan di meja makan. Dorothea tidak memotongnya, namun tak tanggung-tanggung ia "memakannya". Cara berpikir kanibal rupanya menjadi satu-satunya jalan yang harus dipilih sebagai simbol melenyapkan dominasi laki-laki.
Puisi yang amat baik tersaji dalam "Buku harian Perkawinan" ini rasanya berimbang dengan tafsir yang juga amat baik ditulis oleh Ignas Kleden. Saya terkesima dengan kalimat tafsir dari Ignas yang tak kalah puitisnya, yang berbunyi "Cinta bukanlah kemesraan dan penyerahan diri yang lembut, tetapi pertarungan dan bahkan peperangan, di mana semua gairah dan hawa nafsu dikerahkan ...." Kalimat tafsir itu bagi saya telah menjadi "puisi baru" di samping puisi yang menjadi obyek penafsirannya.
Ketika saya berada di antara tafsir dan puisi, sesungguhnya saya harus belajar bagaimana seorang penafsir tidak hanya berurusan dengan makna. Namun, amatlah penting bagi saya untuk memperhatikan bagaimana bahasa tafsir amat menentukan baik atau buruk sebuah penafsiran. Dari cara Ignas Kleden lah saya ingin terus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H