Penyair dalam menuangkan sajak-sajaknya, tentu saja bermula dari pengalaman-pengalamanya, juga dari pikiran dan perasaannya. Semua yang tertuang dalam karya seorang penyair, bisa jadi merupakan ungkapan keseluruhan yang ada di dalam batinnya.Â
Bisa jadi pula, seorang penyair tidak seluruhnya menuangkan pikiran dan perasaannya dalam sebuah sajak. Dengan kata lain, seorang penyair membatasi diri untuk tidak mengungkapkan isi batinnya. Dia menghindar untuk tetap merahasiakannya. Seleksi atas pikiran dan batin penyair dilakukan dengan cara tidak menuliskan sajak dalam sosok pribadinya yang paling rahasia.
Benarkah ada sajak yang paling rahasia ditulis oleh penyair dan tidak dipublikasikannya kepada para pembaca karena khawatir rahasianya akan diketahui orang lain? Setidaknya memang ada, bila saya membaca baris-baris yang ditulis penyair Subagio Sastrowardoyo. Mari kita ikut membacanya:
RAHASIA
   Tuhan tak menampakkan diri karena tahu manusia tak mampu
mengungkap makna ilahi.
   Juga sajakku yang kusayangi,  yang  mengandung pengalaman
pribadi, tak bakal kubacakan kepada teman bahkan kekasih, karena
toh tak akan mengerti.
    Sajak yang paling rahasia kutulis di remang senja dan kubawa ke
kubur kalau aku terbujur mati
16/3/1995 Â Â 19.30
Ketidaktampakan Tuhan di hadapan manusia karena persoalan keterbatasan dalam menggungkapkan makna keillahian-Nya, oleh penyair disejajarkan dengan sajaknya yang mengandung pengalaman pribadi itu tak akan sanggup dimengerti pembacanya.Â
Lantas, bagaimana dengan sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo yang terkumpul dalam buku Hari dan Hara, Simphoni, Keroncong Motinggo, juga dalam buku Dan Kematian Makin Akrab diyakini penyair sebagai sajak-sajak yang bisa dimengerti sehingga disampaikan kepada pembacanya? Mungkin saja memang diyakini Subagio sebagai sajak yang bisa dimengerti.Â
Lalu, manakah yang dimaksud "sajak yang paling rahasia" itu? Subagio tidak menyampaikanya dengan jelas. Ia hanya menyampaikan sajaknya itu ditulis waktu "remang senja" dan hanya akan dibawa ke dalam kubur bersama jasad penyair.
Diksi "remang senja" sebagai kata benda yang menunju pada keterangan waktu, dapat mengarah pada dua pemahaman untuk kita. Pertama, "sajak yang paling rahasia" itu ditulis penyair saat usia mendekati waktu kematiannya (sudah sangat renta). Kedua, "sajak yang paling rahasia" itu benar-benar amat rahasia, amat samar-samar sebagaimana waktu "di remang senja" sehingga tidak mungkin disampaikan kepada pembacanya.Â
Diksi "sajak" dalam puisi berjudul "Rahasia", yang dimaksud Subagio mungkin saja bukanlah sajak yang tertulis secara tekstual di atas kertas. Namun, "sajak" yang masih tersimpan dalam "pengalaman dalam" penyair yang belum sempat dituliskankannya sehingga akan "kubawa ke kubur kalau aku terbujur mati". Di sini berarti, "sajak yang paling rahasia" itu adalah "sajak" yang hanya "ditulis" dalam batin Subagio yang selamanya akan tetap menjadi rahasia hingga kematian menjemputnya.
Sungguh, bermain-main dengan berbagai kemungkinan pemahaman atas sebuah puisi, bagi saya, teramat mengasyikan. Saya menikmati puisi "Rahasia" Subagio Sastrowardoyo menjadi aktivitas estetis untuk tidak terlalu larut dalam kecemasan yang berlebihan di tengah-tengah wabah yang belum usai ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H