Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tempat Terbaik bagi Kenangan

10 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Januari 2022   16:14 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak setiap orang bisa melupakan kenangan dalam hidupnya. Banyak di antaranya, mereka yang tak sanggup untuk menghilangkannya dari ingatan. 

Banyak dari mereka pula mengubah kenangan menjadi monumen yang indah dan megah dalam wujud bangunan atau sekadar tugu; menjadi hari khusus yang setiap tahun diperingati; menjadi catatan tertulis dalam bentuk berbagai buku; atau minimal tersimpan di dalam hati. Beberapa penyair juga menjadikan kenangan dalam bentuk puisi.

Singkat kata, kenangan tak lekang dimakan waktu, menjadi kekal dalam kehidupan individual maupun kolektif. Beberapa kenangan pun menjadi amat sakral dalam ritual kebudayaan dan keagamaan.

Meski demikian, Sapar Djoko Damono melihat kenangan tak lebih dari masa lampu yang harus ditinggalkan. Kehadiran kembali kenangan tak bisa dipaksakan, karena menurut Sapardi:

Tidak setiap orang bisa menjejalkan

kenangan ke besok. Di mana gerangan

tempat terbaik baginya. Ia milik kemarin,

milik igauan yang tak kenal arah angin

Perhatikanlah pemakaian kata "besok", "milik kemarin", "milik igauan", dan "tak kenal arah angin". Dalam puisi Sapardi yang berjudul "Kenangan" itu memperlihatkan kenangan sebagai waktu yang lampau, masa lalu yang telah menjadi "kemarin". Maka dari itu, kenangan hanya dapat berada di tempat terbaiknya, yakni masa yang telah lewat. Kenangan pun menjadi tidak lagi berarti, karena ia hanya berupa "igauan" yang tidak jelas arahnya. Mungkin juga yang tak lagi mempunyai arti.

Dalam bait kedua, Sapardi menambahkan:

 

Tidak setiap orang siap menuntun

kenangan ke lusa. Di mana gerangan

aku bisa merawatnya? Relakan saja:

Dewabrata pun tak menginginkan istana

Ada yang menarik membaca baris-baris puisi Sapardi dari bait kedua itu. Perhatikanlah kata "lusa", "relakan saja", dan kalimat retoris "Di mana aku bisa merawatnya?" Kenangan -apalagi sebagai peristiwa yang amat tidak menyenangkan- tidak untuk masa depan manusia. 

Manusia mana pun tidak mau menyimpan kenangan yang buruk dalam hidupnya. Apabila kenangan telah menjadi peristiwa masa lalu, maka alangkah baiknya manusia melupakannya. Kata "relakan saja" mempertegas maksud melupakan kenangan.

Bagaimana dengan baris terakhir dalam puisi itu yang berbunyi, "Dewabrata pun tak menginginkan istana"? Sapardi menjadi Dewabrata sebagai perumpamaan. Baris terakhir itu secara referensial merujuk pada kisah dalam dunia pewayangan. Dewabrata adalah Bisma, kakek Pandawa Lima dan para Kurawa. Bisma sendiri merupakan anak dari Dewi Gangga dan Sentanu, seorang raja dari Hastinapura.

Masa kecil Bisma hidup dengan ibunya dan setelah dewasa baru lah ia bertemu dengan ayahnya, Raja Sentanu. Ketika ayahnya ingin menikahi Setyawati dengan syarat bila kelak Setyawati mempunyai anak, maka anaknya harus menjadi putra mahkota - Bisma atau Dewabrata rela mengorbankan jabatan putra mahkota demi kebahagiaan ayahnya. Di tepi sungai Gangga, Dewabrata bersumpah tidak akan pernah menjadi raja Hastinapura dan memilih menjadi pelayan bagi negaranya.

Perumpamaan yang digunakan Sapardi sungguh amat menarik bila disandingkan dengan apa yang disebutnya dengan "kenangan". Puisi ini memberi saya satu pelajaran penting, bahwa sesuatu yang paling berharga, yang kita miliki selama hidup di dunia, amat lah tidak berarti dibandingkan dengan kebahagiaan diri kita. 

Seorang Dewabrata tak silau dengan kedudukan, tentu juga sebuah kemewahan. Ia memilih menjadi seorang pengabdi masyarakat dan meninggalkan kenangan sebagai putra mahkota. Pada sisi lain, kisah Dewabrata bagi kita menjadi "kenangan" tentang sebuah pengorbanan untuk merelakan kenangan-kenangan duniawiah milik kita.

Tempat terbaik bagi kenangan adalah merelakannya untuk melupakan dan dari puisi Sapardi Djoko Damono inilah, mari kita belajar untuk menjadi manusia ruhaniah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun