Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi

4 Januari 2022   13:00 Diperbarui: 4 Januari 2022   13:02 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini aku baru tahu, setidaknya untuk diriku sendiri, mengapa Sapardi Djoko Damono menulis puisi dengan baris yang berbunyi "Yang fana adalah waktu, kita abadi". Semenjak dilahirkan hingga usia setua ini, aku hidup dalam bentangan waktu yang bergerak. Waktu tidaklah diam di tempat. Waktulah yang membawaku hingga usia tua. Waktu yang aku alami ketika kanak-kanak, menjadi waktu lampau ketika kini bukan lagi kanak-kanak. Maka dari itu, "waktu" itu fana, tidak abadi.

Waktu pagi adalah fana sebab datang waktu siang. Waktu siang adalah fana sebab datang waktu petang. Waktu petang adalah fana sebab datang waktu malam. Dalam waktu ada peristiwa yang terus berganti-ganti dengan peristiwa lainnya. Makanya, peristiwa juga fana. Itulah kefanaan waktu, sekaligus juga kefanaan peristiwa. Bukankah ada yang menyebut "peristiwa itu abadi", seperti peristiwa sejarah? Sejarah bukanlah keabadian, sejatinya adalah kefanaan. Sejarah menjadi abadi karena kita yang mengabadikan.

       Lantas, mengapa Sapardi menyebut "kita abadi"? "Kita" adalah pelaku yang berada atau mengalami waktu yang berganti-ganti. Kita tidak berubah sedikit pun menjadi sosok lain yang mengalami peristiwa. Kita kekal dalam keabadian manusia. Sosok fiksional banyak yang menjadi "kita yang abadi". Nawang Wulan, Jaka Tarub, Malin Kundang, Bawang Merah-Bawang Putih, Rama-Sinta, Siti Nurbaya, Datuk Maringgih, juga Srintil adalah "kita yang abadi". Sebagai sosok fiksi mereka tidak hilang. Apalagi sosok-sosok faktual yang historis sepeti Sukarno, Moh. Hatta, Cokroaminoto, H. Agus Salim, bahkan sosok yang dimasukan dalam kategori "kiri" sepeti Muso, DN Aidit, Kartosuwiryo, atau Kutil tetap berada dalam keabadiannya.

       Saya, Anda, Kalian, dan Mereka adalah "kita yang abadi". Bukankah manusia hidup dalam dunia yang fana dan manusia adalah mahluk yang fana? Sapardi bukanlah Tuhan ketika penyair itu menyebut "kita abadi". Keabadian yang kita miliki adalah kekekalan manusia sebagai manusia dalam bahasa pikiran manusia.

Berbahagialah, kita berada dalam keabadian manusia. Menerimakah Anda bila aku menyebut "kita dalam keabadian binatang" atau "kita dalam keabadian setan"?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun