Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekali-kali Pandanglah Pancasila Sebagai Cita-cita, Bukan Ideologi

1 Juni 2020   15:23 Diperbarui: 1 Juni 2020   15:27 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit photo : Thejakartapost.com

Pancasila hanya antiklimaks dari kisah perseteruan ide dalam sidang BPUPKI, dan berhasil mewadahi semua keinginan yang dikeluarkan. Guna memanfaatkan Pancasila dengan benar, maka jadikanlah sebagai patokan impian negeri ini.

Selamat Hari Lahir Pancasila

Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 Mei -- 1 Juni 1945 menjadi "meja bundar" bagi para tokoh-tokoh besar Indonesia. Perdebatan mengenai dasar negara dan bentuk negara Indonesia nanti menjadi panas, bahkan sempat-sempatnya membentuk Panitia Sembilan demi memutuskan hal tersebut (Tirto.id, 2019).

Lima sila yang disebut sebagai "Pancasila" resmi dipakai sebagai dasar negara dan diagung-agungkan sebagai ideologi yang 'hebat' oleh sebagian orang karena tidak terlalu berpihak ke kiri atau ke kanan.

Pendapat pribadi, Pancasila bukanlah ideologi yang hebat karena menampung berbagai ide anggota-anggota BPUPKI yang merupakan manifestasi dari ilmu-ilmu yang mereka yakini baik.

Singkatnya ada ideologi-ideologi di dalam ideologi. Saya lebih senang menyebutnya sebagai cita-cita negara karena dari awal peresmiannya hingga kini, negara kita tidak menjalankannya 'ideologi' ini secara benar.

Pancasila dikenal sebagai weltanschauung atau pandangan hidup dan diyakini oleh Ir. Soekarno bahwa sila-silanya berasal dari pandangan hidup yang mengakar lama dalam kehidupan penduduk di nusantara (Ericha, 2019).

Sebagai pandangan, Pancasila punya tujuan ke depan dan selaras dengan pembukaan UUD 1945. Weltanschauung itulah yang perlu diamini kembali sebagai pedoman kita dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, serta itu bisa dilakukan dengan mudah karena dikatakan berasal dari "kehidupan penduduk di nusantara".

Sila-sila dalam Pancasila sebagai cita-cita memiliki makna dan tafsir yang beragam. Untuk saya, sila Pertama menandai bahwa kehidupan beragama perlu integral dengan kehidupan berbangsa.

Sila kedua menandai bahwa setiap pilihan hidup dan hak asasi manusia perlu dijunjung tinggi dengan pemberian kewajiban yang beradab.

Sila ketiga merupakan gambaran setiap individu dalam masyarakat Indonesia memandang sesamanya sebagai sahabat yang membutuhkan bantuan.

Sila keeempat adalah perwujudan dari parlemen yang adil dan berani meletakkan keegoisannya.

Sila kelima adalah impian sosial dimana secara hukum dan norma masyarakat kita diperlakukan dengan adil dari berbagai sudut pandang.

Memposisikan Pancasila sebagai cita-cita bukanlah hal yang keliru, karena melihat kondisi di negeri yang makin carut marut. Bekas perpecahan pasca Pemilu 2019 masih memperlihatkan sisa-sisa konfliknya sehingga klaim sebagai pelaksana Pancasila yang benar sering dilakukan dibarengi dengan usaha menjatuhkan kubu lain yang dianggap tidak menghormati Pancasila.

Dari sini saya setuju bilamana Pancasila tidak bekerja sebagai ideologi, namun sebagai "stempel" kebenaran dimana siapapun yang memilikinya dianggap sebagai orang dengan perilaku yang sesuai dengan sila-sila Pancasila.

Tetapi polarisasi ini belum terbukti benar, karena ternyata masih ada orang-orang yang berdamai dari Pemilu 2019, maka kubu orang-orang itulah yang perlu memperlihatkan bahwa Pancasila perlu ditegakkan kembali.

Untuk merestorasi Pancasila dalam pemikiran dan perbuatan, maka diskusi mengenai Pancasila perlu melibatkan integrasi wacana antar elemen masyarakat serta harus dilandasi kepentingan ekonomis setiap elemen masyarakat (Thariq, 2017).

Untuk itu, setiap wacana yang tertampung harus dilihat secara kecil hingga kelompok yang paling kecil sehingga kepentingan mayor dari kubu yang masih bertikai (pro dan oposisi pemerintahan) tidak mendominasi.

Menghidupkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan pandangan hidup berbangsa membutuhkan kehadiran dari orang-orang yang berpengaruh.

Meskipun influencer banyak, namun kekuatan dari tingkat profesi macam aparat dan pegawai negeri masih dibutuhkan. Pancasila perlu bertumbuh sebagai budaya di lingkungan kerja kelompok profesi agar penghayatan nilai-nilainya tetap ada (Asmaroini, 2017).

Terdapat banyak pendekatan yang dapat dilakukan agar masyarakat memahami Pancasila sebagai pandangan hidup salah satunya melalui pendekatan multimedia (Jiwandono & Nurbeni, 2019).

Orang-orang yang berpengaruh tadi perlu mengemban tugas ini sebagai wujud nasionalisme diri sendiri bagi masyarakat melalui keahlian mereka tersendiri. Internet memang cepat tapi seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa landasan kepentingan ekonomis perlu tertampung, maka tidak hanya sekedar tahu bahwa Pancasila sebagai cita-cita, tapi upayakan pula bahwa Pancasila adalah pandangan hidup dalam kehidupan berbangsa yang diimplementasikan dalam pikiran, perkataan, dan  perbuatan.

Sebuah negara yang bisa beribadah dan saling menghindari konflik antar umat yang beribadah yang menjunjung keadilan dalam demokrasi yang mementingkan hak hidup seluruh rakyat Indonesia merupakan cerminan negara ber-Pancasila sebagai cita-cita. Pancasila sering dianggap sebagai ideologi, bahkan dikatakan "murni" sehingga bisa dibanggakan. Jika melihat kondisi saat ini Pancasila lebih tepat dianggap sebagai cita-cita bangsa mengingat kata-kata "manis"-nya belum terwujud --atau jarang terwujud---dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Referensi :

Tirto.id

Indoprogress.com

Jurnal dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Jurnal dari Universitas Muhammadiyah Surabaya

Artikel Akademik dari Universitas Katolik Widya Mandala, Madiun

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun