Pendidikan perdamaian merupakan serangkaian upaya bersifat kontra proses dari pengalaman traumatik yang dialami seseorang dengan tujuan untuk mengatasi kecemasan akan sesuatu yang dianggap tidak menguntungkan.
Muhammad Hatta (dalam Orsan (ed.), 2018) dalam pidatonya setelah Persetujuan Renville ditandatangani juga memberikan pikiran yang meyakinkan mengenai aspek-aspek positif tentang sikap Republik Indonesia terhadap persetujuan sekaligus tersebut memberikan saran untuk mencegah segala hal yang dapat memecah belah republik.
Giat yang dilakukan Hatta dalam pidatonya itu bisa dianggap sebagai aplikasi dari pendidikan perdamaian yang diterapkan secara praksis dan sejalan dengan penanganan traumatik atas segala serangan yang dilakukan oleh pihak yang tidak diinginkan, yaitu Belanda dengan agresi militernya.
Instruksi dalam menangani trauma murid tidak bisa langsung dibuat dalam bentuk program tersendiri dan terpisah dari kegiatan pembelajaran sekolah karena memberatkan guru-guru serta pihak tenaga kependidikan sekolah untuk ikut menyesuaikan diri dengan program tersebut.
Untuk itu, instruksi yang tepat dilakukan adalah urgensi penanaman nilai perdamaian dalam bentuk integrasi dengan mata pelajaran di sekolah (Mislia, 2017).
Dengan berbagai penggunaan metode yang sesuai dengan mata pelajaran dan penekanan pada nilai-nilai perdamaian maka proses integrasinya akan berlangsung dengan mantap dan hasil belajar yang lebih bermakna pada tujuan perdamaian.
Pembelajran terintegrasi bisa dianggap sebagai tulang punggung pelaksanaan praktis pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah, dan perlu oleh guru-guru untuk memahami model pembelajaran yang relevan untuk dapat menanamkan nilai perdamaian secara maksimal.
Salah satunya adalah model resolusi konflik yang bermula dari identifikasi masalah yang nyata terjadi --bisa disajikan lewat berita, video, bahkan bisa pengalaman murid---yang berujung pada suatu produk yaitu resolusi atas konflik yang akan diselesaikan. Efek nyata tersebut akan terasa bermanfaat bilamana mampu memberikan perubahan atas kondisi-kondisi khusus murid di kelas yang berhubungan dengan trauma yang mereka miliki.
Meskipun guru punya andil dalam mengarahkan murid-muridnya untuk dapat mengatasi traumanya, sebenarnya ada cara lain dalam lingkup sekolah yang bisa dimulai dari murid untuk mengatasi traumanya akan kekerasan dan kehilangan yang dialami.
Gambaran besarnya yaitu murid secara alami mulai membuka diri terhadap segala hal yang mendekatkannya dengan hal-hal traumatik sehingga pada prosesnya ia akan terbiasa dengan hal tersebut dan pada akhirnya kondisi traumatiknya teratasi.
Hal tersebut pula yang dialami Susi, seorang murid perempuan asal Aceh yang mengalami traumatik akibat konflik Aceh dan bencana Tsunami 2004 yang bisa mengatasi pengalaman traumanya dengan membuka diri sehingga pada akhirnya ia tumbuh menjadi pribadi yang dibutuhkan di lingkungan sekitarnya (Baedowi dkk., 2015).