Oleh-oleh Mudik, Ilmu Mengelola Lingkungan

Mudik senantiasa menjadi kesempatan untuk refreshing dengan sejuta kerinduan kepada suasana hangat keluarga dan sejuknya pemandangan kampung halaman. Pada momen ini, kegiatan yang bisa diisi terkadang lumrah terjadi dan seakan tidak membosankan. 

Kegiatan seperti silaturahmi, makan bersama, membagi-bagikan THR hingga berlibur ke tempat wisata, serta tak lupa mengunggah kemesraan lingkup keluarga ini ke media sosial menjadi hal yang sepertinya terangkum dalam momen idul fitri di kampung halaman.

Oleh karena itu, mudik seringkali menjadi kajian secara akademik untuk membahas dasar dari fenomena ini hingga berujung pada pemaparan multiperspektif yang muncul dari kajian tersebut. Menurut Arribathi & Aini (2018),  Mudik dimaknai sebagai "...bentuk sinergi antara ajaran agama dengan budaya atau tradisi masyarakat Indonesia. 

Sebagai sebuah tradisi mudik telah mengakar secara kuat. Sementara dalam pandangan agama berbagai tradisi dalam mudik diyakini memiliki landasan". Dari perspektif ekonomi, fenomena mudik memiliki hubungan erat dengan pengembangan jaringan ekonomi (Somantri, 2014). 

Jelas sekali bahwa ditinjau dari perspektif manapun, mudik memiliki manfaat tersendiri dalam menyegarkan kembali kondisi dan kebiasaan manusia antar daerah.

Namun ada hal seringkali dilewatkan oleh para pemudik yang bisa dibilang lama berjuang di tanah perantauan yang notabene selalu terbayang kota besar dengan berbagai akses yang mudah --kecuali kemacetan. 

Hal itu adalah ilmu yang bisa saja diterapkan di kampung halaman agar kampung halaman tersebut bisa berkembang atau setidaknya mengimbangi arus inovasi kota dengan caranya sendiri. Satu hal yang bisa dibagi adalah ilmu mengolah lingkungan agar bisa dikelola dengan fleksibel dan tepat guna.

Lingkungan pada masa lebaran tidak lepas dari menumpuknya sampah yang membludak akibat kegiatan manusia yang padat dalam satu waktu. 

Hal ini justru tidak diimbangi dengan keberadaan tempat pembuangan sampah yang kurang mampu dijangkau dengan masyarakat (Mulasari & Sulistyawati, 2014). Hal ini bisa berdampak pada beban ekstra dinas untuk harus bekerja lebih keras dalam mengumpulkan sampah yang belum tentu ada di lokasi yang dianjurkan.

Dengan makin terkikisnya luas lahan untuk memperluas area penanaman hingga pengelolaan sampah yang makin ruwet akibat tidak adanya sarana penampungan sampah ukuran besar di suatu lingkungan, solusi Agroforestry dan Suistanable Neighborhood Garbage Management (SNGM) patut untuk dicoba. 

Agroforestry memiliki keuntungan untuk mendayagunakan suatu lahan dengan berbagai fungsi seperti peternakan, bercocok tanam, dan pemberdayaan tanaman lokal.

SNGM lebih mengarah kepada lingkungan pemukiman untuk menyisihkan satu ruang kosong di area pemukiman RT yang memiliki syarat-syarat yang berlandaskan pada asas pengelolaan yang rapi dan akses yang mudah dalam distribusi sampah sekaligus kontrol lingkungan pemukiman.

Agroforestry merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi dimana fungsinya sebagai pemaduan antara intensifikasi pertanian dengan pelestarian hutan (Bene dalam Hairiah dkk, 2002). 

Konsep sederhananya adalah mendayagunakan suatu lahan liar menjadi suatu tempat yang cocok untuk menanam tanaman produktif yang berdampingan dengan tanaman asli di alam liar tersebut. 

Contohnya seperti tanaman pisang yang tumbuh berdampingan dengan tanaman pinus. Pinus tetap tumbuh rindang sementara tanaman pisang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi bagi petaninya.

SNGM merupakan kreasi liar saya sebagai penulis yang bermula dari memikirkan suatu model kerja yang cocok diterapkan secara praktis bagi masyarakat dalam mengelola lingkungan pemukimannya. 

Garis besar dari kerja SNGM ini sendiri adalah konsep suatu kelompok kerja terhadap lahan, penjadwalan, sampah atau komponen lainnya yang dirasa dapat mempergunakan sampah rumah tangga sebagai keuntungan bersama yang berkelanjutan. 

Hal ini diadopsi dari sistem bank sampah yang sudah menjamur dimana-mana, tetapi yang berbeda adalah SNGM akan menjadi sebuah konsep, dan bank sampah akan masuk sebagai pengaplikasian dari SNGM itu sendiri.

Agroforestry dan SNGM perlu dibicarakan lebih mendalam dan diatur sedemikian rupa agar dipahami masyarakat desa. Ilmu-ilmu dan ide-ide tersebut tidak akan sia-sia kita berikan pada kerabat kita di lingkungan yang memang membutuhkan suatu inovasi yang mampu bersaing dengan cepatnya perubahan di lingkungan kota. 

Mudik memang wahana untuk refreshing suasana, dan pada akhirnya ilmu yang kita bawa selama mudik harus menjadi biji yang baik bertumbuh di kampung halaman.

                                 

Referensi :

Arribathi, A.H. & Aini, Q. (2018). Mudik dalam Perspektif Budaya dan Agama (Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia). CICES, 4(1), 45-52. Diakses dari: http://ejournal.raharja.ac.id/index.php/cices/article/view/437

Hairiah, K., Sunaryo & Widianto. (2002). Sistem Agroforestri di Indonesia. [Online]. Diakses dari :  https://www.worldagroforestry.org/downloads/WaNuLCAS/LectureNotes/LectureNote1.pdf

Mulasari, S.A. & Sulistyawati. (2014). Keberadaan TPS Legal dan TPS Ilegal di Kecamatan Godean Kabupaten Sleman. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(2), 122-130. Diakses dari: https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/2839

Somantri, G.R. (2014). Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. [Online]. Diakses dari: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/gumilar.r09/publication/artikel-sosiologimudik.pdf