Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bermunajat untuk Pekerja Asing

23 Februari 2019   08:18 Diperbarui: 23 Februari 2019   09:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra; taken from tirto.id

"Tenang, tenang, jangan murka kau dulu bila ingat masa lalu. Memang benar tidak adil jika kita diperlakukan berbeda jika kerja keras kita tidak mendapat hasil yang setimpal dan itu manusiawi. Namun, kita lihat konteksnya bahwa yang mendapat hasil akan kualitasnya adalah mereka yang menjanjikan dalam perusahaan, termasuk beberapa temanmu sebelum menjadi asisten mereka." Pak Bagus menjeda sebentar.

"Harusnya kamu menyadari bahwa keputusan perusahaan adalah hak mereka, dan hak kita dari awal adalah menerima gaji dan tunjangan yang pantas. Jabatan hanya bonus. Aku kerja jadi bawahan pekerja asing sebelum kamu. Jabatan yang aku emban saat ini adalah jabatan yang aku emban dulu." Tepukan pada dada oleh Pak Bagus meneruskan keseriusan teman-teman petani.

"Sebagai warga lokal, justru kita harus ramah pada mereka dan kreatif mencari peluang. Maksud peluang disini adalah mendapat ilmu dari informasi bekerja dengan mereka."

"Aku mencari tahu bagaimana cara mereka bisa naik jabatan, naik gaji dan dapat kepercayaan perusahaan. Ternyata mereka tidak punya perbedaan dengan kita, yang membedakan justru hasil kerjanya karena mereka kerja dengan sungguh-sungguh dan memang terkesan tidak ramah. Itu karena mereka sudah waktunya bekerja, bukan mengobrol. Lepas kerja pun dia masih harus berefleksi dan mencari cara agar kerjanya lebih baik lagi dari sebelumnya. Sedikit demi sedikit, hasil kerjanya memuaskan semua pihak termasuk bos perusahaan yang mengganjarnya dengan kenaikan jabatan."

"Tapi pak mandor pun disini seperti itu, kenapa bukan bapak saja yang naik, ya ?" ucap lawan bicaranya.

"Nah, inilah kenapa kita tidak boleh ghibah. Karena kita tidak tabbayun dulu dan hanya menyebarkan fitnah kesana kemari. Yang ada itu dosa." Senyum Pak Bagus.

"Begini ya, Mister Johan adalah lulusan terbaik dari universitasnya yang mengabdikan diri untuk penelitian di kampusnya, makanya perusahaan berani memberi posisi strategis pada dia. Dia sepertinya tidak lama disini karena sudah ada jaminan untuk bekerja di Universitasnya setelah rasa penasarannya akan karet di Indonesia berakhir. Dia tak banyak bicara, dan lebih suka melihat-lihat, hal itu diceritakan ketika ada pertemuan antara Supervisor di gedung perusahaan. Ketika aku tanya apakah dia punya banyak teman untuk bekerja kesini, dia malah membalas dengan tawa dan mengatakan bahwa temannya justru banyak kerja di Amerika dan Eropa, sama sekali tidak tertarik dengan Asia Tenggara yang disinyalir selalu jadi sarang para pekerja daerah Cina untuk mendapat kerja yang menjanjikan."

"Dia selalu ada di dalam mobil untuk makan karena dia tidak bisa beradaptasi dengan cepat, apalagi dia datang cuma modal tahu bahasa Inggris. Sudah dipastikan mau 1000 orang ingin berbicara dengan mister Johan, tak akan ada satu topik yang kesambung. Tapi lambat laun kita akan terbiasa begitu juga dia akan terbiasa dengan kita, dan kita saling belajar apa adanya tanpa perlu berbicara dari belakang."

Sesuai namanya, pak Bagus mengakhiri ucapannya dengan bagus dan orang itu mulai berhenti membicarakan Mister Johan. Aku mencoba melaksanakan nasihat Pak Bagus dengan mencoba menawarinya makanan kepada dia yang selalu saja ada di mobil. Namun, dia menolak. Aku mencoba menolak dia, tapi ucapan Pak Bagus selalu terngiang dan niat menolaknya terurung.

Beberapa bulan kemudian, orang itu mulai terbiasa dengan kami dan terkadang melempar senyum ketika ada hal lucu disekitarnya. Namun, dia masih berbicara dengan Pak Bagus yang notabene adalah satu-satunya orang dikelompok kami yang bisa berbicara dengannya menggunakan bahasa Inggris. Layaknya Soekarno, Pak Bagus adalah penyambung lidah kami bagi mister ini.

Aku selalu membelikan mi aceh kepada mister dan ia menerimanya pertama kali karena dia tidak ingin dicap sebagai anti pribumi. Pak Bagus pernah mendengar curhatnya akan tuduhan yang diberikan kepada orang macam dia, dan Pak Bagus memberi saran untuk senantiasa menerima dengan hangat pemberian dari orang lokal. Dari situ aku sudah tahu, bahwa dia jauh dari kesan pekerja asing yang digambarkan sebagai perebut pekerjaan orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun