Menurut buku-buku pelajaran PKN setingkat SMA/Sederajat, unsur-unsur negara itu terdiri dari rakyat, pemerintahan dan wilayah. Ditambah dengan pengakuan kedaulatan oleh negara lain sebagai pemantap dari berdiri sebuah negara dalam percaturan internasional. Namun, apa jadinya jika ketiganya yang terwakili atas nama "Rakyat, Negara dan Partai" bersinggungan satu sama lain dalam cita-cita kemanusiaan? maka film Lincoln (2012) mungkin bisa menjawabnya.
Lincoln (2012) tayang perdana di Amerika Serikat pada tanggal 16 November 2012 dan meraih berbagai penghargaan di bidangnya. Film yang berlatar cerita masa akhir Perang Saudara di Amerika Serikat dan masa pengesahan Amandemen ke-13 yang biasa disebut sebagai "Amandemen anti-perbudakan" ini memang tidak mengedepankan adu senjata ala militer. Setiap rekaman justru lebih memperlihatkan usaha dialog, negosiasi dan pertimbangan nurani akan kondisi serta masa depan rakyat, partai dan negara Amerika Serikat di ujung akhir perang tersebut.
Cerita ini memang berputar pada seorang Abraham Lincoln yang diperankan oleh Daniel Day-Lewis yang dimana begitu menjiwai peran sang Presiden ini. Humoris, optimis, dan arogan adalah karakter yang akan banyak ditemui oleh para penonton ketika mencoba menggambarkan perilakunya terhadap orang lain. Selain itu, tujuannya untuk menciptakan negara tanpa budak di negara penuh kebebasan tersebut menjadi poin utama atau mungkin klimaks dari film ini.
Sesuai dengan sejarahnya, Lincoln dipaksa memutar otak dan harus mengambil keputusan yang sama sekali tidak bisa keliru kala peluangnya meluluskan amandemen tersebut terganjal oleh terancamnya elektabilitas Partai Republik di Capitol Hall (Parlemen AS) dan juga Negara Konfederasi yang sudah hampir menyerah dan bersiap mengirimkan delegasi perdamaian ke Washington City (Sekarang Washington D.C). Kenapa kedua hal ini menjadi ancaman Lincoln? karena jika elektabilitas partai menurun dan musuhnya sudah menyerah maka orang-orang dari parlemen, media massa dan masyarakat awam di Amerika Serikat tidak perlu mempermasalahkan isu perbudakan karena semuanya telah kembali normal, ditambah lagi Lincoln akan makin terpojok dalam menjalankan pemerintahannya nanti karena Partai Republik menyalahkannya karena berpeluang kehilangan suara di pemilihan kedepannya akibat 'ulah' sang Presiden.
Thaddeus Stevens (diperankan oleh Tommy Lee Jones, yang juga berperan sebagai Agent K di film "Men In Black III") menjadi "second characters" dan menjadi pendukung Lincoln dalam mewujudkan amandemen ke-13. Jika Abraham berjuang dalam lembaga eksekutif, maka ada Stevens dalam pergulatan lembaga legislatif. Namun jika kalian melihat filmnya sampai akhir, kalian akan menemukan bahwa ada "seseorang yang spesial" yang memotivasi dirinya untuk terus berjuang hingga akhir, bukan Lincoln.
Di dunia nyata, orang-orang yang bertujuan seperti Lincoln dan Stevens untuk membebaskan kaum tertindas (orang negro) dari perlakuan tidak adil seperti perbudakan merupakan impian di zaman sekarang, apalagi di Indonesia. Kaum tertindas saat ini bukanlah golongan yang kurang dalam hal uang, tapi golongan minoritas secara identitas yang masih ditekan kaum konservatif. Kabar terbaru yang turut mengabsahkan kalimat sebelumnya itu adalah tuduhan "salibisasi" jalan yang ada di Solo yang justru sudah dijelaskan oleh Pemkot Solo hingga "mulut berbusa" bahwa itu tidak merepresentasi simbol agama lain, hingga akhirnya Pemkot kalah dari kelompok konservatif dan mengecat ulang perempatan tersebut.
Pemkot Solo juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka juga memiliki masalah yang sama dengan Lincoln, yaitu berbagai kepentingan yang sama-sama harus diputuskan pada saat yang sama. Kepentingan sosial, politik, budaya dan agama dan lain sebagainya terjadi dalam satu momen dan salah mengambil keputusan akan membuat Pemkot Solo menjadi perbincangan hangat media massa selama beberapa waktu. Mungkin mereka harus berjudi dengan nasib seperti yang dilakukan oleh Lincoln, ketika menyuruh fraksi Partai Republik untuk mencari suara untuk meloloskan amandemen ke-13 dengan nasehat "dengan nyali, bung" agar mereka mampu memenangkan berbagai kondisi.
Film Lincoln (2012) memberikan tayangan dan refleksi bagi kita secara menarik mengenai begitu beratnya mengambil dan mempertahankan suatu keputusan bersama. Apalagi di negara berpaham demokrasi yang secara sah dan meyakinkan melegalkan kebebasan berpikir dan berpendapat sehingga begitu susahnya menyatukan semua kebebasan tersebut dalam satu keputusan.Â
Sebagai seorang pengambil keputusan, pemimpin (Presiden) dan anggota parlemen (DPR) punya tugas berat namun sangat berdaya dan mencerahkan masa depan bangsa bila mampu mewujudkan aturan yang menghormati kemanusiaan di negeri demokrasi penuh intrik, seperti yang diwujudkan Abraham Lincoln sebelum kematiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H