Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Dalih "Yang Penting Ilmunya" Membuat Sedih Para Kreator

23 Januari 2019   19:40 Diperbarui: 24 Januari 2019   22:11 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimulai dari sebuah kisah di ruang laboratorium matematika, di tengah kejenuhan mengerjakan tugas salah satu mata kuliah banyak yang berbincang-bincang di luar topik mata kuliah tersebut. Salah satunya adalah berbicara tentang buku, dan yang memulainya adalah kaum hawa.

Saya tidak bohong dan berani bersumpah bahwa mereka memulai pembicaraan yang di luar "kebiasaan" mereka seperti idola negeri gingseng, masalah kecantikan, masalah percintaan dan hal-hal remeh lainnya.

Topik tentang buku ini dimulai dari ketertarikan mereka untuk membaca buku yang berjudul "Sebuah Seni Untuk Bersikap Masa Bodo" yang memang tengah digandrungi oleh pembaca dadakan.

Kemudian berlanjut dari keluhan saya mengenai mahalnya beberapa buku buruan saya dan menyebutkan bahwa tempat emperan buku paling terkenal di Bandung pun kebanyakan menjual yang imitasi (KW). Lalu, salah seorang gadis berwajah ibu-ibu dalam forum topik tersebut pun nyeletuk dengan mengatakan "ngga' apa-apa atuh (yang KW juga), yang penting ilmunya"

Seakan tersengat dada ini meskipun apa yang dikatakannya benar juga dan mengacu pada paradigma esensialisme. Meskipun sempat terlintas dalam benak bahwa yang dikatakan oleh nona ini sangat cocok dengan saya yang berasal dari kaum marhaen yang mencoba makan di kafe yang bernama "diatas normal" saja sudah berasa Hotman Paris.

Harga yang murah, isi yang tidak memiliki perbedaan yang mencolok hingga mudah didapatkan menjadikan buku KW sebagai primadona mahasiswa kaum marhaen yang kecanduan buku hingga yang cuma latah dengan dunia literasi.

Namun, rasa tidak nyamanlah yang justru mengisi benak saya sebelumnya dimana saya merasa kasihan. Kasihan terhadap nasib para creator buku tersebut dari mulai gagasan penulis hingga menjadi benda nyata yang bisa kita miliki.

Proses yang cukup panjang untuk menjadikan sebuah buku itu nyata, dan dapat patah begitu saja dengan kehadiran benda imitasinya. Lebih mengejutkannya lagi ada saja orang yang memakluminya. Sungguh keterlaluan itu orang.

Seperti yang diketahui banyak sekali orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sebuah buku, mau sekonyol dan se-unfaedah-nya buku itu tetap saja keluar uang untuk memproduksinya. Pelaku-pelaku pembuat buku itu bisa dilacak dari lembaran awal yang berisi identitas buku tersebut, mulai dari penulis, desainer sampul, editor, penyunting, penerbit, penata letak isi, dan kawan-kawan.

Tentu menjadi suatu kebanggaan bila namanya terpampang sebagai kreator dari buku tersebut dan saya pun berpikir mereka justru seperti para kru film yang justru lebih bangga melihat kredit film ketimbang isi dari film tersebut.

Penulis mendapatkan gagasan membuat buku, mencari konten dan mulai merangkai pola-pola kata di atas media menulisnya. Lalu dengan bantuan para kontributor seperti desainer, penata, editor dan penyunting (dan juga penerjemah jika buku tersebut menggunakan bahasa asing), mereka mulai memperindah dan merevisi bagian-bagian yang perlu diperbaiki sebelum akhirnya dinilai oleh penerbit.

Final checking oleh penerbit menggunakan tim tersendiri yang memperhitungkan tujuan dan untung-rugi dari penerbitan buku tersebut. Jika dianggap lolos, maka penerbit tinggal mengatur jumlah buku yang akan dicetak.

Untuk selanjutnya, buku yang tercetak akan disalurkan lewat distributor atau biasa saya sebut dengan "tengkulak buku" guna menyebarkannya ke toko buku atau bisa langsung ke tangan pembaca. Sungguh proses yang panjang untuk membentuk sebuah buku.

Mengingat saya sangat lemah dalam kecerdasan matematika, maka saya hanya bisa meyakini bahwa pemasukan dari para kreator tersebut paling banyak berasal dari penjualan buku produksi mereka dan juga royalti dari hak kekayaan intelektual yang pasti diterima sebagai proteksi karya mereka.

Untuk hitung-hitungannya saya serahkan kepada mereka yang profesional akan hal tersebut. Pokoknya, membeli karya asli mereka adalah bentuk penghargaan yang berharga bagi kreator karena selain memberikan untung, juga sebagai apresiasi atas karya tersebut.

Kehadiran buku imitasi tidak lepas dari hukum peluang-permintaan pasar yang menjadi penjelasan yang bisa diterima. Jika buku yang dicetak terbatas dan peluang terjualnya tinggi, otomatis permintaan turut meningkat.

Di sinilah para enterpreneur nan cerdik masuk menusuk memanfaatkan celah kekosongan pencetakan para penerbit itu untuk mencetak imitasinya dan tinggal taruh di pasar buku yang murah dan membiarkan para pelancong buku menjadi sales mereka karena pasti akan memperlihatkan buku buruan mereka yang berharga murah.

Ditambah lagi kemungkinan tidak adanya berita mengenai penerbit yang bangkrut karena buku KW merajalela menguatkan keyakinan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah bukan perbuatan yang mengerikan hingga akhirnya merambat menjadi pemikiran untuk mementingkan manfaat tulisan yang ada ketimbang keaslian buku yang menampung tulisan tersebut.

Buku imitasi ini memang memiliki dinamika tersendiri dalam dunia produksi-distribusi-konsumsi buku ini. Namun, agar paradigma "yang penting ilmu"-nya bisa tersingkir setidaknya para kreator harus pintar memanfaatkan event atau momen tertentu agar buku mereka terkenal sekaligus harganya bisa terjangkau.

Sementara untuk kita para penikmat buku untuk selalu mengusahakan membeli buku yang orisinil dan jadikan yang KW sebagai jalan terakhir jika sudah tidak bisa membeli yang orisinil. Karena Buku itu hadir bukan hanya ilmunya, tapi cerita serta kebanggaan dalam memproduksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun