Mohon tunggu...
Muammar Saudi
Muammar Saudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner | Student at Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada

menyukai aroma kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Songing: Refleksi Sejarah Kampung Katinroang

27 Februari 2023   23:00 Diperbarui: 28 Februari 2023   00:00 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum datangnya Islam di wilayah Songing, pemakaman orang yang meninggal masih dengan kepercayaan masyarakat terdahulu seperti Attoriolong, dalam buku Hanua Sinjai karya Budayawan Sinjai Drs. Muhannis menyebut dua kepercayaan yang ada yaitu Pallohe dan Patuntung. Penulis secara subjektif lebih sepakat untuk menggunakan istilah agama leluhur (indigenous religion) sebagai agama lokal yang dianut masyarakat sebelum semuanya dipandang melalui paradigma agama dunia (world religion paradigm). 

Pemakaman Puang Lompo dilakukan masih dengan prosesi penguburan orang Bugis pada umumnya; di mana dikenal istilah To Mallajang dimana sebenarnya kuburan itu tidak berisi jenazah, hanya sebagai tanda seorang tokoh yang menghilang. Kuburan dari Puang Lompo sendiri masih dapat ditemukan hingga kini di pemakaman umum Songing yang ditandai dengan sebuah batu leppa di atasnya. 

Terlepas dari peristiwa  tersebut, satu hal yang mesti diketahui bahwa pemahaman masyarakat akan terus mengalami evolusi, termasuk juga dengan kepercayaan atau agama; baik teori maupun praktik ritualnya.

Dari Katinroang Ke Songing sebuah peristiwa Sejarah

Pengetahuan tentang nama desa yang digunakan saat ini "Songing" seringkali menjadi hal yang dilupakan dan tidak memiliki perbandingan yang mengerucut pada satu nama. Ada tiga fakta yang saya dapat mengenai Katinroang dan Songing, kemudian  dianggap sebagai local knowledge yang dituturkan para pendahulu. Sedikitnya ada 3 (tiga) cerita berbeda yang didapat untuk menguatkan data tentang sejarah nama Songing dan Katinroang ini bermula. 

Pertama, nama Katinroang diberikan kepada suatu tempat yang terdapat peristiwa diluar nalar. Suatu ketika ada orang yang lewat (musafir) di daerah ini dan menginap dirumah warga, ketika dibangunkan orang tersebut sudah meninggal (meninggal dalam tidurnya). Maka kampung tersebut diberi nama Katinroang atau berarti orang yang tertidur/meninggal dalam tidur. Latar belakang pemberian nama semacam ini kemudian dianggap sebagai hal yang kurang baik, sehingga kampung ini berganti nama menjadi Songing dengan alasan banyak buah Songi' (latin; Dillenia celebica) di daerah ini.

Kedua, istilah Katinroang diidentikkan dengan sosok Puang Lompo. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di suatu wilayah (saat ini Songing), Puang Lompo tertidur di bawa Pohon Songi'. Sehingga istilah Katinroang dapat juga bermakna tertidur dibawah pohon Songi'. Keterkaitan istilah antara Katinroang dan Songing tidak dapat dipisahkan sebab sudah saling berkaitan sejak awal daerah ini dibangun. 

Ketiga, Katinroang juga dapat dipahami sebagai orang yang tertidur ketika Panrita (orang bijak) lewat di daerah itu. Konon diceritakan ketika To Panrita melewati wilayah Songing, masyarakat saat itu tertidur dan tidak bertemu dengan To Panrita tersebut. Berbeda halnya dengan daerah seberang yang disinggahi oleh  To Panrita sehingga daerah disebut Lempangan (daerah yang disinggahi). Konotasi dari "Katinroang" dianggap negatif dalam masyarakat, istilah tersebut menuju pada makna pemalas sehingga digantilah namanya menjadi Songing. 

Merujuk pada ketiga cerita tersebut, maka sebenarnya Songing telah melewati tiga masa hingga saat ini. Pertama, masa perintisan (wanua baru) penduduk masih sedikit dan masih menjadi bagian wilayah bagian. Kedua, masa dimana Arung atau pemimpin telah diangkat dan menjadi wilayah sendiri (Akkarungeng) serta sudah memiliki penduduk yang lumayan. Selanjutnya, masa sekarang ditandai dengan berakhirnya wilayah Akkarungeng diganti dengan kebijakan baru yang disebut "Desa" pada tahun 1962. Kebijakan saat itu sebenarnya dapat dianggap sebagai reformasi sistem pemerintahan, akan tetapi kurang memperhatikan aspek historis dan kebudayaan lokal.

Terakhir, beberapa versi cerita sejarah di atas bukan lagi untuk diperdebatkan yang mana benar atau keliru, melainkan ini tentang kekayaan pemahaman yang tidak ternilai. Biar bagaimanapun, ketiga cerita tersebut sebenarnya memiliki relasi yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

*Tulisan ini masih terus membutuhkan data dan analisis yang lebih mendalam sehingga saran dan masukan sangat dibutuhkan oleh penulis. Olehnya itu jangan sungkan untuk berbagi informasi dan saran di komentar. Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun