Mohon tunggu...
Muamar Anis
Muamar Anis Mohon Tunggu... -

Я студент и всегда узнаете

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesaktian Pancasila Sedang Diuji

19 September 2014   10:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sinilah, ekstremitas berpeluang mengalami ekspansi makna. Ekstremitas keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup.

Ekstremisme sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama. Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak.

Ekstermisme berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di luar lingkarannya.

Prluarlitas dan realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat pengiman eksitremisme gamang dan mencoba untuk mengukur kebenaran doktrin yang dianutnya. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secar ekstrem, ia harus membasminya dengan harapan perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.

Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu memantapkan ekstremitas sikapnya sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin pemantap ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya.

Dengan dasar doktrin itu, ia diharapkan menjadi tenang dan mencerabut naluri keingintahuan. Tidak hanya itu, ia bahkan bisa menambah poin kesalehannya bila menerapkannya secara ekstrem. Dengan doktrin ini, kekerasan bisa terlihat sebagai kesalehan, penindasan menjadi cara meraih pahala, pembunuhan, penjarahan, dan semua tindakan yang menurut standar di luar doktrin itu adalah kebiadaban, bisa dipastikan sebagai jalan pintas meraih kerelaan Tuhan.

Doktrin itu bukan undang-undang negara, bukan pula aksioma rasional, tapi dikemas dalam sebuah frase yang kudus. Fatwa sebutannya.

Ia terlanjur dipahami sebagai teks yang dating dari langit. Para pembuatnya juga sudah dianggap sebagai “tuhan-tuhan bertulang” yang tidak layak dipertanyakan apalagi ditentang.

Dalam sekejap, pendapat yang dikemas dengan kata “fatwa” bisa menimbulkan sebuah atau beberapa peristiwa. Ia sangat efektif untuk menciptakan sebuah aksi dan mengubah manusia yang lugu dan santun menjadi beringas dan sadis. Dengan satu kata “fatwa”, rumah-rumah bisa rata dengan bumi, anak-anak menggigil menangis tercekam takut dan wanita-wanita menejerit takut kehilangan kehormatan.

Hanya karena yang menerbitkan fatwa itu adalah orang-orang yang entah bagaimana prosesnya dianggap duplikat-duplikat Nabi, tiba-tiba parang, clurit dan semua sarana pemusnahan dihunus dan ditari-tarikan dalam sebuah even kolosal pembantaian. Alasan peragaan seni kebencian itu cukup satu: “berbeda”!

“Berbeda” ditafsirkan secara ekstrem sebagai sinonim “sesat”. Sesat terlanjur direduksi sebagai “kehilangan hak menghirup udara”, manusia maupun ternaknya, rumah maupun ladang tembakaunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun