Mohon tunggu...
Mual P Situmeang
Mual P Situmeang Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial

Spesialis Pelibatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekeping Pembelajaran: Bansos Memberdayakan atau Memperdayakan Masyarakat?

3 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 3 Juli 2024   11:06 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini dimedia begitu riuh narasi pendapat dan pandangan terkait dengan Bansos yang digelontorkan Pemerintah oleh Presiden.

Terlepas dari ragam polemik dan perspektif terhadap manfaat, tujuan dan pelaksanaan Bansos, marilah jeda sejenak mempelajari praktek bansos dari sudut pengalaman masyarakat yang menjadi sasaran penerima manfaatnya (beneficiaries).

Pada dasarnya apapun bantuan yang diterima masyarakat termasuk bansos dari pemerintah akan membuat si penerima baik keluarga maupun masyarakat merasa lega atau menenangkan perasaan yang gelisah atau biasa diistilahkan dengan relief oleh lembaga-lembaga kemanusiaan dunia yang memiliki pengalaman dan keahlian (expertise) dibidang penanganan bantuan kemanusiaan. Apalagi bagi mereka yang terdampak oleh situasi dan kondisi darurat akibat bencana alam atau bencana 'buatan' tangan manusia seperti konflik dan peperangan.

Ragam bantuan biasanya dikemas untuk memenuhi kebutuhan penyintas misalkan saja dalam menangani bantuan masyarakat yang mengalami bencana gempa bumi, kekeringan, atau banjir dlsb. Pada prakteknya paket bantuan dirancang sedemikian rupa agar tepat guna sehingga sipenerima dapat ditopang daya survival nya menghadapi kondisi darurat. Paket standar berupa makanan, minuman dan perlengkapan dasar minimal ada dalam paket bantuan tsb. termasuk juga untuk anak.

Paling tidak dengan bantuan darurat ini mereka sanggup bertahan hidup menghadapi keadaan kritis. Istilah relief ini menjadi jargon teknis dalam program bantuan darurat, emergency relief, yang baku digunakan dalam pelaksanaan program bantuan maupun memobilisasi sumber pendanaan.

Dalam kajian empiris yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun internasional yaitu melalui pembelajaran partisipatif -suatu penelitian kualitatif yang melibatkan si pemberi bantuan, mitra-mitra dan penerima manfaat yaitu masyarakat, disimpulkan bahwa bantuan a.l paket bansos yang tidak tepat sasaran, dengan metode yang tidak cermat dan situasi atau waktu yang salah justru menimbulkan permasalahan baru.

Ibarat pasien menerima perawatan dengan perlakuan medis yang tidak tepat oleh karena diagnosa yang tidak akurat sehingga mengakibatkan kondisi yang lebih buruk lagi.

Meninjau pengalaman praksis lapangan lembaga sosial kemanusiaan dalam memberikan bantuan dilaporkan bahwa hal utama dan penting sebelum intervensi adalah menyelami kondisi sosial masyarakat. Salah satu aspek penting yang dipetakan adalah tingkat kapabilitas masyarakat mengatasi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Selain itu aset sosial yang ada didalamnya termasuk juga potensi kelompok atau paguyuban baik tradisional non formal dan modern yang formal discan untuk diperkuat peran dan tanggung jawabnya.  Pandangan dan kontribusi mereka terhadap isu atau permasalahan di masyarakatnya amatlah vital. 

Menurut kajian antropologi setiap kelompok masyarakat memiliki survival strategy yang membuat mereka mampu bertahan hidup dalam kondisi apapun juga. Ini terbukti dari eksistensi dan perjuangan hidup mereka diwilayahnya secara turun temurun.

Oleh karena itu penting sekali memahami kondisi masyarakat yang akan mendapat 'suntikan' khusus seperti bansos. Tentu bila masyarakat dalam kondisi darurat pihak 'penolong' harus berinisiatip sigap dan cepat membantunya agar bisa bertahan hidup. 

Dalam kondisi yang relatif stabil dan berjangka panjang atau biasa disebut fase development maka bantuan apapun juga kemasyarakat tetap dalam koridor pemberdayaan dimana masyarakat ikut bertanggung jawab dan berperan mengatasi persoalannya sendiri bersama pihak penolong. Jangan sampai bantuan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru apalagi melemahkan daya juang mereka membangun kesejahteraan masyarakat.  Atau bahkan dapat menimbulkan sikap dependency dan masyarakat menjadi obyek/ penerima pasif. Hal ini akan menyuburkan sikap inferioritas serta mentalitas yang lebih cenderung menuntut bantuan. Perlahan kepercayaan diri masyarakat semakin tergerus dalam pola transaksi subyek dan obyek. Sipemberi dan penerima. Alhasil masyarakat dalam jangka panjang menjadi lumpuh daya juang, inisiatif dan kreatifitasnya untuk bertahan hidup di kondisi apapun juga.

Inilah yang perlu diwaspadai pihak-pihak yang ingin 'menolong' atau membantu mereka. Yaitu pihak yang harus menyadari keterbatasannya sebagai outsider (Pihak diluar masyarakat yang perlu belajar mengenal mereka agar diterima dan dipercayainya). 

Program bantuan tersebut akan menambah permasalahan lebih kompleks.  Dalam jargon pengembangan masyarakat diistilahkan sebagai proses disempowerment atau memperdayakan dalam konotasi negatif atau mentidak-berdayakan akibat  ketidaksengajaan (not by design) atau salah kaprah (sasaran tidak tepat, tujuan, metode yang keliru).

Illustrasi DBM (Diskusi Bersama Masyarakat)-dokpri
Illustrasi DBM (Diskusi Bersama Masyarakat)-dokpri
Contoh dari kasus seperti ini adalah bantuan-bantuan yang mengabaikan peran dan tanggung jawab masyarakat sehingga masyarakat menjadi stagnant tetapi terus menerus menuntut bantuan baik kepada pemerintah maupun lembaga sosial non-pemerintah (NGO). Otot kemandirian masyarakat semakin lemah 'dimanjakan' oleh strategi jalan pintas yang hanya membuat mereka relief dalam waktu sesaat (berjangka pendek)

Ada banyak pembelajaran praktek 'menolong' atau memberi batuan sosial masyarakat yang berujung pada ekses timbulnya permasalahan baru akibat tumbuhnya sikap dependency yang tidak disadari pihak pemberi bantuan. Banyak kasus inisiatif besar dalam memajukan masyarakat yang terhenti tanpa berkelanjutan dan menjadi 'benda bersejarah bak musium' dan tontonan masyarakat diwilayahnya. Mereka menganggapnya sebagai 'proyek' pihak lain bukan sebagai  upaya bersama masyarakat.

Oleh karena itu lembaga sosial dan organisasi kemanusiaan dunia yang bernaung di PBB maupun NGO internasional lebih mengutamakan hasil kajian awal yang komprehensif (need assessment) sebelum melakukan intervensi pada permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pemetaan permasalahan ini dapat mereduksi bias serta asumsi yang tidak akurat terhadap permasalahan yang akan ditanganinya.

Tetapi juga bukan semata kemampuan mendiagnosa akar permasalahan sosial saja yang menjadi faktor keberhasilan suatu program melainkan juga opsi solusi atau remedy terhadap permasalahan juga essential.

Misalkan saja permasalahan kesehatan seperti isu gizi buruk pada anak balita.  Kajian awal penyebab permasalahan gizi buruk memang dapat membantu memperjelas dan mengurai apa yang menjadi penyebab utama terjadinya isu tersebut.  Tetapi pemilihan model intervensi mengatasi isu atau permasalahan juga perlu kajian mendalam agar potensi keberhasilannya terukur. Masalah kesehatan gizi dan intervensinya lebih kental dengan pendekatan bebasis scientific.

Oleh karena itu pendalaman dari praktek model intervensi dan cerita sukses negara lain atau konteks lapangan yang serupa dalam mengatasi gizi buruk amat penting dieksplorasi dan dipertimbangkan untuk diadopsi dan direplikasi. Karena model intervensi yang berbasis-bukti-nyata (evidence base) lebih berpotensi berhasil dari pada intervensi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun