Dinamika perubahan relasi antar keluarga dan masyarakat saat ini amat dipengaruhi oleh nilai kehidupan modern yang individualistis serta independen. Kebersamaan dalam keluarga dan antar keluarga menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan tidak lagi dianggap sebagai nilai dasar alami sebuah keluarga dan komunitas. Sepertinya, setiap individu didorong oleh arus zaman untuk memprioritaskan hal lainnya dari pada nilai kebersamaan. Â Sebuah ilustrasi dalam bentuk foto menunjukkan sebuah keluarga di mana setiap anggotanya sibuk dengan ponsel pintarnya masing-masing di dalam ruang keluarga. Hal ini mencerminkan fenomena kebersamaan pada zaman sekarang.
Ditengah tantangan keluarga dan masyarakat mempertahankan nilai kebersamaan pada jaman individualistis ini, Â masih ada praktek budaya lokal yang berhasil memelihara nilai-nilai tersebut secara berkelanjutan. Â Salah satu contohnya adalah Komunitas Batak. Keluarga-keluarga Batak memiliki tradisi yang dihormati secara turun-temurun dalam mempertahankan nilai kebersamaan.
Masyarakat Batak memiliki pola relasi kekerabatan yang mengakar kuat dalam kehidupan sosialnya. Â Aspek kekerabatan berperan penting di setiap peristiwa kehidupan keluarga atau masyarakat. Dalam siklus kehidupan yang dimulai dari kelahiran, akil balik, pernikahan, hingga kematian selalu ada perlakuan adat oleh kerabat keluarga. Â Â
Pola relasi tradisional Batak terangkum pada Dalihan Na Tolu (tiga kedudukan fungsional) atau semacam pedoman dasar yang memayungi  konstruksi sosial keluarga dan masyarakat. Ketiga fungsi kedudukan tersebut adalah:
1.Somba marhulahula (sikap sembah/hormat kepada keluarga pihak pemberi istri/ibu)
2.Elek marboru (sikap membujuk/mengayomi anak perempuan dan pihak yang menerima anak perempuan)
3.Manat mardongan tubu (sikap berhati-hati kepada teman semarga)
Sistem kekerabatan Batak adalah patrilineal dimana silsilah atau keturunan keluarga merunut pada garis keturunan bapa atau ayah. Seorang anak lelaki dalam keluarga patut memahami silsilah keluarganya sendiri dan juga minimal keluarga besar semarganya. Sedangkan anak perempuan tidak terlalu dituntutnya karena ia akan terbawa pada keluarga suaminya bila berkeluarga. Â
Para orangtua mewariskan pengetahuan silsilah keluarga (family tree) kepada anak lelaki secara turun temurun. Â Anak lelaki harus mengetahui kedudukannya dalam silsilah keluarga besar. Hal ini akan memperjelas pola relasi dan perannya didalam interaksinya kepada kerabatnya.
Didalam sistem kekerabatan ada pola relasi yang normatif. Â Anak lelaki yang berkedudukan lebih muda satu tingkat akan menghormati kerabatnya yang berada diatasnya. Misalnya anak lelaki yang berada pada runut ke 15 Â akan memanggil bapa (amanguda/tua) kepada runut ke 14. Â Tetapi kepada runut ke 13 dia akan lebih menghormatinya lagi dan menyebutnya sebagai ompung.Â
Pada peristiwa adat pernikahan misalnya, kerabat keluarga akan berperan vital mengatur semua keperluan adat tersebut. Keluarga pengantin mendapat dukungan serta pendampingan dari para kerabat keluarganya secara moril dan materil. Â Acara adat pernikahan mempertaruhkan kehormatan kerabat keluarga dan klan atau marganya. Jadi, peristiwa adat pernikahan adalah juga sebuah peristiwa perkawinan komunitas antara marga A dengan komunitas/marga B.ÂNilai tradisional yang memupuk rasa cinta kebersamaan keluarga dan juga antar keluarga bertitik tolak dari pemahaman anak terhadap silsilah keluarganya sendiri. Secara turun temurun para orangtua menanamkan perasaan senang dan cinta keluarga kepada anak-anak mereka khususnya anak lelaki.Â
Mereka selalu mengulang-ulang cerita sejarah nenek moyang keluarga kepada anggota keluarganya. Cerita tentang kehormatan dan kemuliaan nenek moyangnya  yang berasal dari keturunan raja-raja wilayah, kampung atau kelompok masyarakat terus menerus diperdengarkannya. Hal ini juga menumbuhkan kebangggaan pada keluarga. Ada kalanya muncul rasa percaya diri berlebihan dan cenderung 'agak angkuh' akibat dari penyampaian pesan yang tidak proporsional di keluarga tertentu. Sesungguhnya istilah keturunan raja disini tidaklah berkaitan dengan kaum berdarah biru atau ningrat seperti Kerajaan Inggris atau Thailand.  Â
Orangtua Batak 'wajib' memberitahukan posisi atau kedudukan runut anak lelakinya. Hal ini terus berlanjut dari generasi ke generasi. Selain itu, sebagian besar keluarga juga menyimpan dokumen atau bagan silsilah keluarga mulai dari nenek moyang pertama marganya. Bahkan ada pula yang memajangnya pada bingkai hiasan di ruangan keluarga. Â Â
Ambil saja contoh silsilah keluarga Situmeang. Â Nenek moyang Situmeang (Jamita Mangaraja Situmeang) memiliki 4 anak. Berdasarkan urutan dari anak tertua hingga termuda sbb: Op. Raja Lalo, Op. Binanga Julu, Op. Raja Naunang, Op. Juara Tua). Â Masing-masing mereka juga mempunyai keturunan. Â Lalu berlanjut kepada keturunan berikutnya dan seterusnya.Â
Dibawah adalah silsilah dari salah seorang keluarga Situmeang yang merunut hingga generasi ke 15.Â
Rasa sayang dan kecintaan kebersamaan pada keluarga dan persaudaraan juga dipupuk melalui ribuan lagu-lagu Batak yang berlirik penghormatan spesifik kepada ibu, bapa, anak-anak, leluarga, kerabat, dan juga kampung halaman. Â Dalam setiap peristiwa adat, lagu-lagu ini disenandungkan oleh penyanyi dan musisi profesional serta dinyanyikan secara bersama-sama. Â
Tradisi kecintaan pada keluarga dan persaudaraan antar keluarga ini tak lapuk oleh hujan modernisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H