Pandemi Covid-19 plus Minyak Goreng Langka bak kombinasi pukulan hook dan jab menohok pedagang kecil makanan gorengan. Kepala mereka pusing dan nyut-nyutan. Perjuangan mereka semakin berat mengais rupiah.Â
Namun tak ada istilah lempar handuk seperti di ring Tinju untuk menyerah. Mereka terbiasa dengan gelombang pasang surut kehidupan. The show must go on menafkahi keluarga. Strategi baru harus ditemukan agar tetap dagang dan beruntung.Â
Ditengah krisis justru muncul kreatifitas. Semua rumus dijajaki. Mulai dari rasionalisasi ukuran kue hingga pengurangan kualitas bahan termasuk pemakaian jenis minyak goreng.Â
Pedagang kini mempunyai 4 pilihan jenis minyak goreng: curah, oplosan, kemasan, dan jelantah. Dalam kondisi sekarang pedagang kecil memilih jenis yang terjangkau dan tersedia cepat. Tentu sesuai kemampuan dan menguntungkan.Â
Minyak goreng kemasan jauh dari pilihan karena harganya melangit. Efek sampingnya pihak konsumen (masyarakat) menjadi lebih berisiko. Kemungkinan mereka mengonsumsi gorengan memakai minyak tidak berstandar lebih terbuka. Ingat kita membicarakan masyarakat kelas bawah.
Biasanya masyarakat memilih gorengan dengan memperhatikan warna minyak goreng yang dipakai. Jika warnanya gelap kehitaman mereka tidak jadi membeli.Â
Seringkali mereka mengambilnya juga karena terpaksa dan tidak ada pilihan. Malah ada pelanggan yang tak mempersoalkan minyaknya. Sing penting enak.
Strategi lain ada pedagang cemilan gerobak dorong memajang sederet minyak kemasan baru yang belum dibuka. Kemasannya diletakkan tidak jauh dari penggorengan dan mudah dilihat. Taktik ini memberi kesan makanan digoreng dengan minyak baru dan berkualitas.Â
Tetapi tidak sedikit yang hanya mencari untung dan tak ambil pusing akan dampak kesehatan konsumennya. Mereka memakai minyak Jelantah berulang.Â
Realita grass root (dibawah) sudah terbiasa dengan risiko. Mereka seperti memiliki agilitas atau daya tahan termasuk mengonsumsi gorengan yang tidak jelas minyaknya. Â