Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Qur'an di Nusantara
      Agama Islam di Nusantara menjadi agama mayoritas para penduduknya, khususnya di tiga negara Asean, di antaranya; Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Akan tetapi tidak untuk Singapura dan Thailand, Islam merupakan agama minoritas penduduknya terbukti dengan perkembangan tafsir yang tidak sesignifikan tiga negara yang telah reviewer sebutkan. Sebut saja di Brunei sebagai negara Islam hanya menyebut terdapat tiga karya tafsir, di antaranya; Tafsir Darussalam, Tafsir lengkap 30 jus dan Tafsir Muntakhob. Penyebab dari sedikitnya karya tafsir di negara ini menurut Mufti Kerajaan Brunei Darussalam, Pehin Dato' Maharajo Paduka Seri Setia Haji Awang Abdul Aziz bin Juned, selain faktor keterlambatan penduduk, bisa juga karena kurangnya pakar tafsir yang ada di Brunei Darussalam. [Hal. 40-41]
      Akan tetapi untuk negara Indonesia dan Malaysia cukup banyak ulama yang pakar di bidang kajian Tafsir ini. Terlebih ketika kita tahu bahwa pelopor penafsiran di Nusantara berawal dari kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid karya al-Sinkili, pengaruhnya sangat besar untuk perkembangan dan pertumbuhan tafsir di Nusantara. Dari karya ini kemudian mampu memunculkan embrio-embrio baru di bidang karya tafsir dan tentunya hal ini tidak lepas dari jejaring keilmuan yang yang telah diperoleh oleh mereka melalui para masyayikh Hijazi Arab Saudi, Azhari Mesir dan India.
      Dalam buku ini disebutkan kisah-kisah perjalanan panjang para ulama tafsir di Nusantara, bagaimana perjalanan panjangnya dalam upaya menempuh mencari ilmu. Bukan waktu yang sebentar untuk mendalami beberapa disiplin ilmu yang nantinya akan menjadi jembatan dalam menghasilkan karya-karya Tafsir yang fenomenal. Salah satu kisah dalam buku ini menyebutkan bahwa al-Singkili melakukan pengembaraannya dalam menuntut ilmu adalah sekitar 19 tahun dimulai sejak dia meninggalkan Aceh menuju Arabia pada tahun 1052/1642. Di sana dia berguru kepada 19 orang guru untuk belajar berbagai disiplin ilmu dan dengan 27 ulama lainnya dengan kontak. Rute perjalananan ilmiahnya dimulai dari Doha, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekkah dan Madinah. [Hal. 94]
Hal ini tentunya juga dilakukan oleh para ulama lainnya, yang dikisahkan secara eksplisit berikut karya-karyanya yang sampai saat ini masih terus digunakan sebagai bahan ajar ataupun rujukan penelitian. Karya-karyanya abadi melampaui umurnya dan menjadi jariyah dengan imbalan rahmat Allah SWT. yang tiada tara dengan terus adanya pengembangan di bidang kajian tafsir ini baik secara sederhana di pengajian maupun secara formal yang dikonsep seminar.
Selain perkembangan penulisan serta penerbitannya, metode dan corakpun menjadi perhatian dalam penulisan buku ini, karena perubahan zaman yang tidak dapat dihindari akan tetapi terus berdaptasi, maka seiring dengan perjalanannya dan perubahannya, metode dan corak penafsiran di Nusantara ini juga ikut berubah senada dengan adagium bahwa al-Qur'an shalih li kulli zaman wal makan. Perlu kita ketahui bersama bahwa karya-karya tafsir yang Hasani paparkan dalam buku tersebut merupakan karya asli dari para Ulama Nusantara yang merujuk pada berbagai sources kitab -- kitab tafsir terdahulu. Cara penukilannya dilakukan dengan cara riwayah atau Dirayah. Metode riwayah  biasanya banyak ditemukan dalam karya-karya tafsir ulama klasik seperti Sayyid Qutb, al-Qurthubi, Abu A'la al'Maududi dan lain-lain. Sedangkan metode riwayah banyak digunakan oleh ulama pertengahan pertengahan-kontemporer-modern. Seperti tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dan Hamka yang menggunakan pendekatan kontekstual dalam kategori sosial kemasyarakatan (adab ijtima'ie). [Hal. 13].Â
Memasyarakatkan Al-Qur'anÂ
      Adaptasi dan peminjaman budaya telah dilakukan oleh para ulama Muslim pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia karena Islam datang dengan damai tanpa ekspansi seperti yang terjadi di daerah lahirnya agama Islam dan juga seperti yang terjadi di daerah Eropa. Islam masuk ke Indonesia dan Nusantara pada umumnya dengan sangat damai. Seperti istilah shalat yang diganti dengan sembahnyang. Istilah ini berasal dari kosa kata anembah Hyang (memuja Tuhan) atau shaum yang diganti puasa yang berasal dari kosa kata Sansekerta upuwasa yang artinya "menguji kekuatan pribadi."
      Pada salah satu latar belakang dari penulisan karya-karya tafsir tersebut, para ulama kita di Nusantara ini ingin menghilangkan stigma negatif yang telah mengakar dimasyarakat tentang Islam di Nusantara -- Tafsir Nusantara. Dalam buku ini disebutkan bahwa Islam Nusantara bagi  sebagian kecil kalangan dianggap paham baru yang mencampur-adukkan antara Islam dan budaya, dalam hal ini budaya lokal. Sepintas tidak ada yang salah dengan pengusung Islam Nusantara, akan tetapi jika ditelaah lebih dalam lagi, Islam yang notabene lahir dari tataran Arab, ada sebagian orang yang beranggapan segala sesuatu yang berbau Arab itu Islam, atau Islam itu ya ala Arab. [Hal. 11]. Oleh karena itu, para ulama Nusantara ini ingin juga menyajikan Tafsir Qur'an sesuai dengan budaya pembacanya agar mudah diterima dan difahami. Diantaranya karya al-Singkili Tarjuman al-Mustafid  yang ditulis dengan huruf Jawi (Arab Melayu) dan Arab Asli. [Hal. 95]
      Oleh karena itu, buku karya Hasani ini patut kita jadikan rujukan untuk mengetahui rantai jejaring ulama sehingga mampu meregenerasikan ulama-ulama yang produktif dalam menghasilkan karya demi mengajarkan dan menyebar-luaskan ilmu agama khususnya di bidang tafsir ini dengan tanpa menjadikannya sulit untuk didapat atau dipelajari karena telah diadaptasi secara bahasa serta metode yang digunakan lebih kontekstual dengan kondisi masyarakatnya sehingga permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat muslim khususnya dapat terpecahkan dengan solusi pembelajaran yang mudah difahami da disampaikan oleh yang ahli.
      Demikian juga dari penutup buku ini, Hasani tersebut mengharapkan dan mengajak agar para penulis yang lain dapat ikut serta dalam proyek lanjutan penulisan jaringan dan pembaharuan Ulama Tafsir Nusantara, dikarenakan pengerucutan pembahasan hanya pada lima negara di Asia Tenggara ini terbilang masih kurang meluas dan kurang lengkap sehingga tidak menutup kemungkinan penulis lain untuk melanjutkannya. Keterbukaan ini dilakukan agar dapat ikut serta berkontribusi memperkaya khazanah keilmuan di Nusantara.