Batuanten. Mendengar nama ini, mungkin masih banyak yang merasa asing ditelinga. Tapi tidak bagi yang tinggal di wilayah kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Dari pusat kota Purwokerto, Batuanten berjarak sekitar 20 km. Lalu kenapa saya mengangkat topik memgenai daerah ini sedangkan tidak banyak orang yang tahu dan bahkan mengunjunginya. Ya, itu adalah desa yang saya kunjungi untuk mudik setiap tahunnya. Â Saya ingin menggambarkan apa yang bisa ditemukan di desa ini. Sebuah desa, yang jika anda ingin melihat banyak kehijauan, adalah tempatnya.
Hamparan Sawah
Ingin melihat hamparan sawah dengan jalan setapak? Percaya pada saya, di sini lah tempatnya. Hanya sedikit berjalan kaki dari pemukiman, and sudah bisa melihat persawahan. Tinggal jalan saja di jalur setapak yang kadang curam, tapi ada juga yang tidak. Di jalan setapak tengah sawah, anda bisa melihat sekeliling yang hijau Ketika padi belum menguning.Â
Selain itu anda juga bisa turun ke sawah untuk mencari keong yang nantinya bisa di masak dan di makan. Eh, tapi tunggu dulu, untuk turun ke sawah dan menginjak lumpur di antara padi, perlu dapat izin dulu oleh pemilik sawah atau pemilik padi, karena pijakan kita bisa merusak padi mereka. Kalau mau aman, tidak perlu sampai turun ke lumpur padi, cari saja keong dari pinggiran, walaupun memang jumlah yang ditemukan tidak akan banyak.
Blumbang
Blumbang adalah sebutan orang purwokerto untuk sebuah kolam ikan yang berupa kali. Banyak sekali blumbang di sepanjang jalan setapak menuju sawah. Beberapa-nya memiliki air pancuran yang sering digunakan untuk tempat mandi atau menyuci. Di blumbang tersebut juga terdapat ikan-ikan air tawar. Namun banyak juga blumbang yang memang hanya diperuntukkan untuk mengembangbiakkan ikan air tawar.
Mata Air
Selain blumbang, ada juga mata air yang bening. Mata air tersebut kebanyakan berada di persawahan dan diperuntukkan untuk pengairan sawah. Namun, ada juga saluran pipa dari kayu supaya anda bisa mencuci tangan dan kaki di situ. Di dalam mata air itu pun ada ikan-ikan kecil yang hidup di situ. Mata air yang paling terkenal dekat dengan pemukiman rumah nenek saya adalah Cilebok. Untuk ke sana, butuh waktu 30 menit berjalan kaki melalui jalan setapak (yang licin jika hujan) dan persawahan.
Pembuatan Gula Kelapa
Di Desa Batuanten, banyak juga orang yang bermata penceharian membuat gula kelapa. Ketika saya kuliah S1 dulu, saya pun pernah membuat projek melihat pembuatan gula kelapa oleh seorang penduduk. Videonya bisa di lihat di bawah ini.
Kayu Bakar sebagai Bahan Bakar Memasak
Memang untuk jaman sekarang ini banyak yang sudah meninggalkan kayu bakar sebagai bahan bakar mereka untuk memasak digantikan oleh kompor gas. Namun, masih ada di beberapa rumah masih menggunakan kayu bakar.Â
Rumah nenek saya termasuk yang masih menggunakan kayu bakar, walaupun juga selain itu sudah menggunakan kompor. Memang keluarga besar kami sengaja tidak menghilangkan budaya memasak dengan kayu bakar, karena menurut kami hasil masakan menggunakan kayu bakar lebih enak daripada menggunakan kompor. Terutama untuk memasak tumis cabai hijau dan juga mendoan yang sering dihidangkan pada saat kami kumpul keluarga, terutama saat lebaran.
alam dengan terhubung langsung dengan hijaunya sawah, serunya jalan di atas tanah jalah setapak, bermain air di pancuran mata air, melihat ikan di blumbang, melihat orang membuat gula aren, dan juga merasakan lezatnya hasil masakan menggunakan bahan bakar kayu bakar. Dan itu semua, hampir tidak mungkin, kita dapat temukan di kehidupan di Jakarta.
Mungkin yang saya sebutkan tadi di atas belum semuanya, namun sepertinya sudah cukup dapat memberikan gambaran bagaimana Desa Batuanten dapat membuat pengunjungnya kembali merasakanOmong-omong, sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan, jadi tidak sabar untuk mudik ke Desa Batuanten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H