Mohon tunggu...
M Thoriq Jiddan
M Thoriq Jiddan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Jurusan Ilmu Komunikasi

Good listener

Selanjutnya

Tutup

Trip

5 Tempat Wisata Bersejarah di Ibu Kota, beserta Sejarah Singkatnya!

4 Juli 2022   18:35 Diperbarui: 4 Juli 2022   18:44 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penetapan lokasi masjid tersebut memicu perselisihan antara Bung Karno dan Bung Hadda yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Bung Karno mengusulkan sebuah situs di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina, dibangun oleh Gubernur Van Den Bosch pada tahun 1834, antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Pada saat yang sama, Bung Hatta mengusulkan agar tempat untuk membangun masjid berada di antara rakyatnya, yaitu Jalan Thamrin, yang pada saat itu dikelilingi oleh banyak desa.

Selain itu, ia percaya bahwa pembongkaran benteng Belanda akan menghabiskan banyak uang. Namun pada akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk membangun di atas tanah bekas benteng Belanda tersebut. Karena di seberangnya berdiri Katedral, yang didesain untuk menunjukkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Tujuh belas tahun kemudian, Masjid Istiqlal selesai dibangun. Mulai digunakan pada tanggal 24 Agustus 1961 dan diresmikan oleh Presiden Suharto pada tanggal 22 Februari 1978, dan ditandai dengan sebuah prasasti yang dipasang di area di depan pintu rumah As-Salam.

2. Monumen Nasional

Monumen ini terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka di pusat kota Jakarta. Selain sebagai monumen nasional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, Monas merupakan salah satu tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga negara Indonesia di dalam dan luar Jakarta.

Monumen Nasional dibangun untuk memperingati dan melanjutkan perjuangan besar bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi 17 Agustus 1945, serta sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air bagi generasi sekarang dan mendatang.

Ide awal untuk membangun Monas muncul sembilan tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Beberapa hari setelah peringatan HUT RI ke-9, dibentuk Panitia Monumen Nasional untuk menggarap pendirian monumen nasional. Panitia dipimpin oleh Sarwoko Martokusumo, penulis S Suhud, Bendahara Sumali Prawirosudirdjo, dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing dari Supeno, KK Wiloto, EF Wenas dan Sudiro.

Setelah itu, dibentuk panitia pembangunan Monas yang disebut "Tim Yuri" yang diketuai oleh Presiden Republik Indonesia. Lewat tim ini, pertandingan digelar dua kali. Kompetisi pertama diadakan pada tanggal 17 Februari 1955, Kompetisi kedua diadakan pada tanggal 10 Mei 1960, dengan harapan dapat menghasilkan karya-karya budaya yang setinggi-tingginya, yang menggambarkan hati dan melambangkan keluhuran budaya Indonesia.

Melalui kompetisi ini diharapkan bentuk monumen yang dibangun dapat benar-benar menunjukkan individualitas bangsa Indonesia. Tugu tiga dimensi, tidak rata, dan menjulang tinggi terbuat dari beton, besi dan marmer, yaitu tahan gempa dan bisa bertahan setidaknya 1.000 tahun. Kritik selama bertahun-tahun dapat menghasilkan karya budaya yang menggugah semangat kepahlawanan.

Namun, setelah dua kali kompetisi digelar, tidak ada satupun desain yang memenuhi semua kriteria yang ditetapkan panitia. Terakhir, ketua tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama, yakni Soedarsono dan Ir F Silaban, untuk menggambar denah Monas. Kedua arsitek sepakat untuk membuat gambar sendiri, yang kemudian diserahkan kepada ketua tim Yuri (Presiden Sukarno), yang memilih gambar Sudarsono.

Bentuk tugu yang menjulang tinggi mewujudkan filosofi "Lingga dan Yoni", membuat "Alu" mirip dengan "Lingga", bentuk wadah (cangkir merah) mirip dengan "Morrow" dan bentuk ruangan "Yoni". Alu dan lesung merupakan dua alat penting yang dimiliki setiap rumah tangga di Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Lingga dan Yoni adalah simbol kuno untuk menggambarkan kehidupan abadi, adanya unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, dunia abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun