Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ketika Lansia Jakarta Merasa Kampungan Naik Whoosh ke Bandung

23 Januari 2025   08:22 Diperbarui: 23 Januari 2025   20:35 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari balik jendela Whoosh: Areal persawahan yang masih aman di Tegalluar, Bojongsoang Bandung (Dokpri)

"Ini kecepatan berapa?" tanyaku pada ipar laki yang duduk di kursi sebelah gang. Kereta cepat Whoosh sedang melaju mendekati Purwakarta. 

"Tiga ratus tiga puluh empat."

"Kok tahu," tanyaku takjub pada akurasi jawabannya, 334 km/jam. 

"Itu." Dia menunjuk pada indikator kecepatan di atas pintu depan gerbong.

"Oh." Takjubku langsung luntur, berubah jadi rasa bego. Bisa-bisanya aku tak tahu ada indikator kecepatan kereta di situ.

Itu adalah salah satu momen kampungan pada diriku, lansia metropolitan Jakarta, saat Senin lalu (20/01/2024) untuk pertama kalinya naik Whoosh ke Bandung. Tepatnya dari Stasiun Halim Jakarta ke Stasiun Tegalluar Bandung.

Jangan ditanya kenapa aku, orang Jakarta, baru kemarin naik Whoosh sejak dia resmi beroperasi 2 Oktober 2023 yang lalu. Padahal orang-orang luar-Jawa saja sudah mencobanya. 

"Orang Jakarta masa belum pernah naik Whoosh?" Seorang teman dari Toba suatu ketika bertanya keheranan.

"Eh, kau sudah pernah naik feri dari Ajibata ke Tomok?"

"Belum."

"Orang Toba kok belum pernah naik feri di Danau Toba."

"Jangan begitulah, Lae. Aku kan cuma tanya?"

Tanya ya tanya. Tapi gak usah juga kali pakai heran segala gitu. Emang lu pikir semua orang Jakarta pernah naik ke puncak Monas? 

Tapi, seperti telah kubilang tadi, akhirnya aku naik Whoosh juga ke Bandung. Dengan satu alasan yang pas, tentu saja. Ziarah bersama keluarga besar ke makam seorang kerabat di perbukitan selatan Bandung. 

Suasana lantai 1 Stasiun Whoosh Halim Jakarta (Dokpri)
Suasana lantai 1 Stasiun Whoosh Halim Jakarta (Dokpri)

Senang Walau Gamang

Kami sepakat membeli tiket kelas ekonomi premium. Harganya Rp 250.000 per orang untuk rute Halim - Tegalluar. Rute sebaliknya lebih murah, hanya Rp 225.000.

Tiket kelas atas jauh lebih mahal. Kelas satu Rp 600.000dan  kelas bisnis Rp 450.000. Beda harga, sama waktu tibanya.

"Penumpang kelas satu lebih dulu tiba, lho" kata iparku. 

"Iyalah. Gerbongnya kan paling depan." Lansia kok mau dikibuli. 

Senang, aku senang banget. Senin pagi itu, pukul 06.15 WIB, sebuah taksi jemputan sudah menunggu di depan rumah. Taksi itu kupesan secara daring pada malam sebelumnya. Saking senangnya.

Ah, tidak, alasannya bukan hanya itu. Tapi juga demi sebuah kepastian waktu. Sebab ketepatan waktu ojek mobil daring kini kadang susah ditebak. 

Hanya 25 menit perjalanan dari rumah ke Stasiun Whoosh Halim. Pukul 06.40 WIB rombonganku, tujuh orang, sudah tiba di sana. Jadwal keberangkatan Whosh kami pukul 07.48 WIB. Ada waktu tunggu 68 menit.

Terlalu dini tiba? Tidak juga. Memang kami rancang begitu. Dalam rombonganku ada tiga orang lansia. Bulik kami yang sudah 85 tahun, istriku, dan aku. Kami lansia ingin menikmati perjalanan naik Whoosh dengan santai, tidak terburu-buru. 

Lagi pula ini pengalaman pertama naik Whoosh bagi kami semua. Kami masih buta soal keadaan stasiun dan prosedur yang berlaku di situ. Hitung-hitung ada cukup waktu untuk salah dan belajar.

Kami duduk-duduk dulu di bangku yang berjejer di lantai dasar stasiun tiga lantai itu. Penumpang naik dan turun siliweran di depan kami, semua bersalin rapi.  Mataku menyapu sekeliling, memantau aneka fasilitas di sana. Ada sejumlah resto cepat saji, outlet aneka produk, dan toilet. 

Nah, ini, ada toilet. Kuputuskan untuk menjajalnya, melengkapi pengalaman kencing di berbagai tempat. Entah ini yang keberapa ribu kali. Hmm, nilai 100 untuk toiletnya pagi itu: lega, sepi, sejuk, bersih dan wangi tipis-tipis.

Sedikit kehebohan yang bikin ketawa haru. Bulik kami ingin tiket digitalnya, barcode di ponsel, dicetak menjadi tiket fisik di mesin tiket. Katanya untuk kenangan, sebab tak ada jaminan beliau bisa naik Whoosh lagi. Bulik kami ini tinggal di Solo dan akan lanjut pulang via Bandung naik Argo Wilis esok harinya.

Maka, takut kualat,  jadilah permintaannya kami turuti. Wah, ternyata tiket fisik Whoosh itu keren juga. Berupa kartu kertas biru muda seukuran kartu ATM. Tertera di situ informasi rute kereta, nomor kereta, waktu berangkat dan tiba, nomor gerbong dan kursi, tanggal berlaku tiket, kelas tiket, nama penumpang dan indikasi nomor identitas, harga tiket, dan barcode tiket.

"Bulik, nanti tiketnya dibingkai, ya. Gantung di ruang tamu." Seorang sepupuku berseloroh. Ah, genuine, ide cemerlang itu. 

Istriku dan aku yang sudah terbiasa dengan tiket digital kereta api antar kota tergoda pula mencetak tiket. "Aku mau laminating nanti," kataku pada istri. 

Tiket Whoosh pertamaku jurusan Halim - Tegalluar (Dokpri)
Tiket Whoosh pertamaku jurusan Halim - Tegalluar (Dokpri)

Pengalaman pertama selalu berharga dan mengesankan. Siapa tahu kelak tiket Whoosh pertamaku itu laku dilelang. 

Saatnya naik ke peron di lantai tiga. Whoosh sudah tersedia, siap berangkat 20 menit lagi. Ramai-ramai kami naik eskalator ke lantai dua.

Eh busyet. Ternyata ada mesin X-ray bagasi dan pintu pemindai seperti di bandara. Ransel dan tas kami lewatkan di lorong berjalan mesin X-ray. Lalu kami melewati pintu pemindai. 

Tiiit, alarm menjerit saat tubuhku melewati pintu. Langsung kurentangkan tanganku. Petugas menyapukan tongkat pemindai di sisi kiri dan kanan tubuhku. Aman, jalan terus.

Lha, kok tadi bunyi tit, ya. Embuh, mungkin gara-gara kepala ikat pinggangku. 

Di pintu elektronik masuk peron, aku yang sok familiar mendadak gamang. Barcode tiket fisik kudekatkan pada pemindai. Bah, mati aku, gak ada reaksi, dua helai pintu tak membuka. 

"Maaf, Pak. Tiketnya diselipkan ke celah ini," seorang petugas tanggap menolong sambil menunjukkan celah inlet kartu tiket di sisi depan blok pintu. "Nanti keluar di atas situ, pintu akan terbuka. Cabut kartu tiketnya lalu masuk," lanjutnya sopan. 

Maka jadilah persis seperti itu. "Terimakasih, Mas." Ucapan wajib untuk Mas Petugas yang telah mengatasi gamangku. Aneh juga, selansia ini aku kok gak hapal letak lubang celah. 

Lewat dari pintu elektronik, aku belok kanan, hendak naik ke Peron 6. Sebab di layar elektronik pengumuman tadi kulihat tertera Whoosh tujuan Tegalluar tersedia di peron itu.

"Maaf, Pak, kereta di Peron Empat," seorang Mbak Petugas menghadang sopan dan mengarahkanku ke eskalator sebelah kiri. 

Lha, gamang lagi. "Apakah aku salah baca pengumuman tadi?" Aku membatin, sedikit bingung. 

"Foto dulu! Kenang-kenangan!" Iparku berteriak, menangguhkan langkahku naik ke gerbong Whoosh.

Jadilah kami berpose, foto-fotoan dulu di samping moncong Whoosh. Bergaya seolah-olah kereta cepat itu milik mbah kami. Tampak kampungan? Ya, betul, tapi kami senang. 

Para pegawai Whoosh juga senang. Buktinya, mereka senyam-senyum mengamati pose dan ulah kami. 

Dari balik jendela Whoosh: Pemandangan sawah dan bukit kapur di daerah Purwakarta (Dokpri)
Dari balik jendela Whoosh: Pemandangan sawah dan bukit kapur di daerah Purwakarta (Dokpri)

Kecepatan di Tengah Kelambanan

Jarum arlojiku tepat menunjuk pukul 07.48 WIB saat Whoosh mulai bergerak dari Halim menuju Tegalluar. Tepat waktu, 100 untuk Whoosh kami.

Perjalanan menunggang kecepatan telah dimulai. Kami serombongan sudah duduk di kursi masing-masing, sesuai nomor yang tertera pada tiket. 

Semua duduk tenang, nyaman, di kursi yang mirip seat pesawat terbang. Kecuali iparku. Dia mulai tengak-tengok sekitar tempat duduk. "Nyari colokan charger hape," katanya. Lha, emang hilang di mana? Setelah clingak-clinguk, akhirnya ketemu juga itu lubang colokan di bawah jok kursi. Aih, dasar kampungan.

Selepas terowongan Halim, dari ketinggian rel Whoosh aku memandangi tol MBZ yang dipadati mobil-mobil berpacu ke timur dan barat.  Mobil-mobil yang mengarah ke timur dalam kecepatan relatifnya terlihat merayap lambat, atau sebagian bahkan terlihat berhenti atau mundur. Tanda bahwa Whoosh melaju dengan kecepatan di atas 120 km per jam. 

Dari balik jendela Whoosh: Perumahan bersicepat melahap areal pertanian di Bandung (Dokpri)
Dari balik jendela Whoosh: Perumahan bersicepat melahap areal pertanian di Bandung (Dokpri)

Pada beberapa kali kesempatan berkendara di tol MBZ, aku selalu memandang iri pada Whoosh yang kebetulan lewat macam peluru. Kubayangkan betapa nyaman duduk di dalam gerbong kereta itu dalam kecepatan tinggi. Tidak seperti di dalam mobil sepanjang tol MBZ, terpontal-pontal dan terguncang-guncang sampai turun berok.

Kini aku duduk nyaman di dalam gerbong Whoosh yang melaju dalam kecepatan tinggi. Membayar lunas rasa iriku, sambil membayangkan derita mereka yang berkendara di tol MBZ. Aku tidak puas karenanya. Sebab kutahu begitulah antara lain cara ketakadilan bekerja.  

Memasuki daerah Purwakarta suara mendesing membuat telinga pekak, seperti saat pesawat lepas landas. Itu berarti kecepatan kereta menyamai atau melebihi kecepatan pesawat lepas landas. 

"Tiga ratus tiga puluh empat," jawab iparku saat kutanyakan angka kecepatan Whoosh saat itu. Ya, 334 km per jam. Itulah angka yang tertera pada layar indikator kecepatan. Iparku telah menunjukkan posisi layar itu padaku -- di atas pintu depan gerbong. 

Nyaman sekali aku duduk dengan kecepatan setinggi itu. Nyaris tidak terasa ada guncangan. Jauh lebih nyaman ketimbang naik pesawat yang tak jarang berguncang karena turbulensi atau tamparan awan.

Dari balik jendela Whoosh: Pemukiman padat di daerah Bandung Barat (Dokpri)
Dari balik jendela Whoosh: Pemukiman padat di daerah Bandung Barat (Dokpri)

Aku mencoba menikmati panorama di balik kaca jendela kereta. Tapi tak banyak yang bisa kunikmati karena pemandangan di luar sangat cepat berlalu. Tujuan naik Whoosh memang menikmati kecepatan, bukan keindahan. Kalau mau menikmati pemandangan, naik Argo Parahyangan, Papandayan, atau Pangandaran saja.

Saat memandang ke luar jendela kereta, sebuah kontras tergambar dalam benakku. Di luar sana tampak pemukiman warga yang padat dan, untuk sebagian, tua dan kumuh. Rumah-rumah tampak berdesakan, hanya menyisakan gang-gang sempit.  Jalan-jalan di sekitarnya masih tanah, atau aspal mengelupas, atau beton cor. Lalu sawah dan tegalan yang polanya dari dulu begitu saja.

Apa yang terlihat di luar sana adalah fakta keterbelakangan, cermin kelambanan gerak pembangunan. Perubahan sosial-ekonomi berjalan lamban di situ.  

Kontras dengan Whoosh yang sedang mendesing di jalurnya. Kereta ini adalah bagian dari sebuah koridor kemajuan, modernisasi eksklusif, cermin kecepatan dalam gerak pembangunan. Whoosh yang kutumpangi ini adalah fakta minoritas warga pembeli waktu, yang hidupnya selalu bergerak maju cepat. Tanpa melihat mereka yang tertinggal di belakang.

"Lihat itu pabrik-pabrik di luar sana." Celoteh istriku membuyarkan gambaran ironi pembangunan dalam benakku. 

Dari balik jendela Whoosh: Areal persawahan yang masih aman di Tegalluar, Bojongsoang Bandung (Dokpri)
Dari balik jendela Whoosh: Areal persawahan yang masih aman di Tegalluar, Bojongsoang Bandung (Dokpri)

"Ya, tentu saja ada koloni-koloni yang bergerak cepat di luar sana," pikirku. Itulah komplek industri dan perumahan yang dengan cepat melahap areal pertanian, sawah dan tegalan. Lalu petaninya mungkin menyisih ke lereng gunung sana, atau terseret ke tengah arus ekonomi informal perkotaan.

Duduk nyaman di dalam gerbong Whoosh lalu terasakan sebagai absurditas bagiku. Untuk sejenak aku menjadi bagian dari modernitas, dunia terdigitalisasi yang bergerak maju cepat atau supercepat dalam wujud Whoosh. 

Sementara di luar sana ada dunia nyata yang bergerak lamban, masyarakat pedesaan dan kampung-kota. Itu duniaku yang sejatinya. Dunia yang masih diwarnai keterbelakangan dan kemiskinan. 

Ini sebuah gejala kecepatan di tengah kelambanan. Sebuah absurditas pembangunan. Dan dengan membayar Rp 250.000, untuk 54 menit jarak waktu Halim - Tegalluar, aku menjadi representasi kelambanan di dalam kapsul kecepatan. Pantaslah laki lansia ini tampak kampungan dan gamang. 

Stasiun Whoosh Tegalluar di ujung rel yang sepi (Dokpri)
Stasiun Whoosh Tegalluar di ujung rel yang sepi (Dokpri)

Kesadaran Baru dan Sesalku di Ujung Rel

"Aku mau boker dulu." Iparku woro-woro. Whoosh baru saja bergerak dari Padalarang menuju Tegalluar, stasiun akhir.

"Emang sempat?" tanyaku. Sebentar lagi kereta tiba di ujung rel.

"Ya, sempat aja." Dia bergegas ke ujung belakang gerbong, tempat toilet berada.

Hanya sekitar 5 menit berlalu, iparku sudah kembali dari toilet.

"Cepat banget." Aku terheran-heran. Iparku ini sebenarnya manusia atau burung, sih?

"Ngapain lama-lama." Ya, tentu saja, dia tak main ponsel di toilet. Tapi bila dipikir-pikir, di dalam Whoosh yang bergerak sangat cepat, segala urusan harus diselesaikan dengan cepat pula, termasuk urusan boker.

"Bersihkah toiletnya?"

"Wow, mewah."

Tepat pukul 08.42 WIB, Whoosh berhenti di ujung rel, Stasiun Tegalluar. Aku dan rombonganku ikut terseret arus penumpang yang bergegas keluar dari gerbong. Entah mengejar apa.

Aku melangkah meninggalkan peron dengan kesadaran baru di dalam kepala. Ternyata, pertama, menjadi warga metropolitan Jakarta selama 30 tahun tak membuatku menjadi "kota" secara kultur. Aku tetaplah seorang "kampung(an)". Seseorang yang gamang ketika tercemplung ke kapsul kecepatan, modernitas terdigitalisasi bernama Whoosh itu.

Kedua, realitas Whoosh itu tidak mengajak serta warga sepanjang koridornya bergerak cepat maju, menyongsong dan menjalani modernitas terdigitalisasi. Warga desa dan kampung di kiri dan kanan rel tetap tertinggal di belakang atau termehek-mehek kalau ada yang mencoba mengejar.

Sebelum keluar dari gedung stasiun ke parkiran, aku mampir dulu di toilet. Sekali lagi nilainya 100.

Saat mengamati air seniku berderai di basin toilet, tiba-tiba timbul sesal di hatiku. "Kenapa pula aku tak kencing di toilet Whoosh tadi? Itu kan bisa melengkapi pengalamanku kencing bermartabat."

Di ujung rel itu aku melirik iri pada iparku. Dia baru saja mendapatkan pengalaman terbaik, boker bermartabat di toilet Whoosh.

"Masa sih aku harus bayar dua ratus lima puluh ribu rupiah lagi hanya untuk pengalaman kencing bermartabat  di toilet Whoosh?" Aku bersungut-sungut dalam hati saat mobil jemputan bergerak meninggalkan parkiran stasiun. [eFTe]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun