"Seekor burung terlahir dengan suaranya dan dia tak pernah mencoba memaksanya, kalau tidak dia akan kehilangannya." -Luciano Pavarotti, Gramophone, 5 September 2017.
Maka bernyanyilah seperti burung berkicau. Dia tak memperbesar ukuran lubang tenggorokan, tempat suara itu dibentuk. Dia hanya menyempitkan dan melebarkan bukaan tenggorokan sesuai rentang kapasitasnya.
"Suara itu bisa dibangun," kata Jay Wijayanto, pelatih vokal/koor cum konduktor profesional. Caranya, kata Lae Jay -- begitu aku memanggilnya -- dengan mengoptimalkan kapasitas tenggorokan, tempat kotak (laring) dan pita suara berada untuk menghasilkan suara. Itulah prinsip dasar bernyanyi yang baik dan benar.
"Suara itu dihasilkan di tenggorokan bukan di bibir," tegas Lae Jay lagi. Itu nasihatnya kepada 60 orang siswa Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar, peserta pelatihan musik liturgi.Â
Diprakarsai Paguyuban Gembala Utama (PGU), Lae Jay menjadi pelatih tunggal dalam Pelatihan Musik Liturgi Gereja Katolik di seminari itu tanggal 6-8 Desember 2024. Hadirku hanya sebagai penunjuk jalan baginya.Â
"Tak ada koor jelek. Yang ada pelatih buruk," tambahnya. Dia hendak membuktikan kebenaran adagium itu di SMCS. Dalam tempo 15 jam, seturut skedul kegiatan dalam 3 hari pelatihan itu.
Musik Liturgi Membangun Sakralitas
Kedudukan musik liturgi Gereja Katolik diatur dalam Dokumen Sacrosantum Concilium No. 112-121 hasil Konsili Vatikan II. Dokumen itu menegaskan musik liturgi adalah bagian integral yang sangat penting dalam liturgi meriah Katolik.Â
Disebutkan musik liturgi memiliki tiga dimensi. Dimensi liturgis yaitu ritus peribadahan; eklesiologis yaitu pewartaan iman umat Katolik; dan kristologis yaitu pengakuan akan Kristus Juru Selamat.
Tiga dimensi itu menunjukkan bahwa, dalam ibadah Gereja Katolik, musik liturgi merupakan salah satu unsur pokok pembangun sakralitas, magnum misterium atau misteri keagungan iman.