Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Samosir Itu Jantung Kaldera Toba

10 Desember 2024   21:24 Diperbarui: 11 Desember 2024   11:24 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak ke Samosir berarti tidak ke Kaldera Toba." --Felix Tani

Seseorang boleh mengaku telah mengunjungi Kaldera Toba hanya dan hanya jika dia telah menjejakkan kaki di Samosir. Tidak pergi ke Samosir berarti tidak pergi ke Kaldera Toba, sekalipun telah berkeliling danau sepanjang garis pantai luarnya.

Samosir adalah jantung Kaldera Toba -- the heart of Kaldera Toba. Itu benar baik secara administratif, geologis, geografis, dan sosio-budaya.

Secara administratif Kabupaten Samosir sepenuhnya di keliling enam kabupaten lain di lingkar Kaldera Toba. Mulai dari kabupaten-kabupaten Karo dan Simalungun di utara, Toba dan Tapanuli utara di timur dan selatan, serta Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat dan Dairi di barat.

Secara geologis dan geografis Pulau Samosir secara khusus adalah sentrum wilayah lingkar Kaldera Toba. Pulau Samosir itu adalah dasar kaldera yang terangkat ke permukaan danau 30,000 tahun lalu -- 44,000 tahun kemudian setelah letusan terakhir Gunung Toba. Pulau itu terhubung oleh air ke seluruh dinding kaldera di lingkar luar danau Kaldera Toba. 

Lalu secara sosio-budaya Samosir adalah kiblat orang Batak Toba. Desa Sianjur Mulamula di kaki Gunung Pusukbuhit secara mitologis diyakini sebagai huta, kampung pertama orang Batak. Di situlah budaya Batak dibentuk. Dari situ pulalah orang Batak dengan budayanya menyebar ke desa naualu, delapan penjuru mata angin di lingkar Kaldera Toba.

Gunung Pusukbuhit sendiri -- berada di sisi barat danau menempel pada ujung utara Pulau Samosir -- adalah kiblat ritual agama asli Batak Toba. Gunung tersebut adalah gunung suci, loka komunikasi antara manusia Batak dengan Mulajadi Nabolon, Maha Pencipta di Banua Ginjang, Surgaloka.

Karena itu tidak salah bila dikatakan Samosir adalah representasi Kaldera Toba. Geologi, geografi, dan sosio-budaya atau, secara keseluruhan, ekologi manusia Samosir mewakili gambaran ekologi manusia Kaldera Toba.

Hal itu berlaku pula untuk konteks wisata Kaldera Toba. Bisa dibilang, Samosir adalah one stop destination untuk wisata Kaldera Toba. Hanya dengan berkunjung ke (Kabupaten) Samosir, maka seorang turis bisa menikmati semua jenis wisata ekologi manusia yang ada di Kaldera Toba. Mulai dari wisata alam, geologi, budaya, sejarah, religi, kuliner, petualangan, agrowisata, sampai wisata air.

Saya akan coba tunjukkan di sini, betapa Samosir itu sejatinya adalah jantung wisata Kaldera Toba. Status sebagai "jantung" itu penting dipahami, sebagai rujukan untuk pengembangan pariwisata Samosir ke depan.

Kampung Sianjur Mulamula, Samosir, kampung cikal-bakal orang Batak Toba (Foto: via danautoba.co.id)
Kampung Sianjur Mulamula, Samosir, kampung cikal-bakal orang Batak Toba (Foto: via danautoba.co.id)

Titik Nol Peradaban Kaldera Toba

Sianjur Mulamula, Samosir disebut "Titik Nol Peradaban Batak". Kampung di lembah Sagala-Limbong itu secara mitologis diyakini sebagai kampung mula-mula orang Batak. Siraja Batak, komunitas pertama etnis Batak diyakini sebagai pemukim pertama di situ sejak sekitar abad ke-12. 

Di tempat itulah cikal-bakal sistem sosial Batak dibentuk. Struktur Dalihan Natolu, yaitu hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah ayah), dan boru (penerima isteri) diciptakan di situ. Begitupun dengan sistem nilai yang menyertai relasi sosio-adat antara ketiganya: somba (hormat) marhula-hula, manat (sabar) mardongan-tubu, dan elek (kasih) marboru.

Inti budaya hauma (sawah) dalam ekologi budaya dan huta (kampung) dalam ekologi politik manusia Batak juga pada mulanya dibentuk di Sianjur Mulamula. Demikian pula dengan sistem sosial horja (federasi huta) dan bius (federasi horja). Sianjur Mulamula adalah bius pertama yang menjadi model untuk semua bius yang pernah ada di Tanah Batak.

Sejarah politik lokal Batak mencatat hadirnya tiga bius utama (induk) di masa lalu. Dua di antaranya berada di Samosir yaitu Bius Sianjur Mulamula yang dipimpin Pendeta Raja Jonggimanaor (Limbong) dan Bius Urat Palipi yang dipimpin Pendeta Raja Paltiraja (Sinaga).

Satu lagi adalah Bius Baligeraja yang semula berpusat di Balige (Pendeta Raja Sorimangaraja), tapi kemudian berpindah ke Bakkara di bawah pimpinan Pendeta Raja Sisingamangaraja (Sinambela, turunan Sorimangaraja).

Religi asli Batak -- lazim disebut Ugamo Siraja Batak -- juga bermula di tempat tersebut. Juga ritus gondang dan tortor sebagai bahasa puji-syukur kepada Debata Mulajadi Nabolon, Dewata Maha Pencipta. Serta ulos sebagai simbol berkat dari Mulajadi Nabolon.

Religi asli itu kemudian menjadikan Gunung Pusukbuhit sebagai Gunung Suci, suatu axis mundi, loka komunikasi antara manusia bumi dan dewata nirwana. Dalam kosmologi Batak itu berarti poros komunikasi antara Banua Tonga (benua tengah, bumi manusia Batak) dan Banua Ginjang (benua atas, nirwana para Dewata).

Puncak Gunung Pusukbuhit itu diyakini sebagai tempat pertemuan manusia Batak dengan utusan Dewata. Dewata Mulajadi Nabolon turun ke puncak gunung itu dengan perantaraan utusannya. Utusan utamanya, semacam malaikat, adalah dewi-dewi dalam rupa burung bernama Leang-leang Mandi, Leang-leang Nagurasta, dan Untung-untung Nabolon.

Dengan demikian, dalam kosmologi asli Batak, Sianjur Mulamula dan Pusukbuhit adalah adalah sentrum atau kiblat. Tempat yang disebut pertama kiblat asal-usul (genesis) Batak dan yang kedua kiblat religi Batak. Itu berlaku untuk semua komunitas Batak Toba sampai paruh pertama abad ke-19, sebelum agama Protestan dan kemudian Katolik.

Sopo Guru Tateabulan di lereng belahan barat Gunung Pusukbuhit (Foto: wikipedia.org)
Sopo Guru Tateabulan di lereng belahan barat Gunung Pusukbuhit (Foto: wikipedia.org)

Dua Belahan Sosial Batak Toba

Sejarah genealogis Batak -- campuran mitos, legenda, dan fakta -- menuturkan pembelahan komunitas Siraja Batak menjadi dua yaitu kelompok Tateabulan dan kelompok Isumbaon. Kedua nama terakhir ini dikisahkan sebagai dua putra Siraja Batak yang lahir di Sianjur Mulamula.

Kelompok Tateabulan kemudian terbelah lagi menjadi dua yaitu Lontung dan Naimarata. Lontung adalah keturunan Raja Lontung. putra Sariburaja dari perkawinan inses dengan Siboru Pareme, adik perempuannya. Sariburaja sendiri adalah anak pertama Tateabulan. Lontung menikah inses juga dengan ibunya dan menurunkan marga-marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar dan Aritonang.

Sementara Naimarata adalah gabungan dari keturunan tiga putra lain Tateabulan bersama keturunan Raja Borbor. Putra Tateabulan yang dimaksud adalah adik Sariburaja yaitu Limbong, Sagala, dan Malau. Borbor sendiri menurunkan marga-marga antara lain Pasaribu, Batubara, Harahap, Tanjung, dan Lubis.

Belahan Batak kedua, Isumbaon, terbelah menjadi tiga kelompok marga turunan Sorimangaraja, putra tunggal Isumbaon, dari hasil perkawinannya dengan tiga orang putri kelompok Tateabulan yaitu Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon.

Nai Ambaton menurunkan marga-marga Simbolon, Munte, Tamba, dan Saragi. Sementara Nairasaon melahirkan marga-marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butarbutar.

Sementara Nai Suanon menurunkan tujuh kelompok marga terbesar dalam masyarakat Batak Toba. Tujuh kelompok itu dikenal sebagai Sibagotnipohan (a.l. Tampubolon, Siahaan, Simanjuntak, Panjaitan, Silitonga, Siagian, Marpaung, Napitupulu); Sipaettua (a.l. Pangaribuan, Hutapea, Hutajulu); Silahisabungan (a.l. Sihaloho, Nadapdap, Tambunan); Sirajaoloan (a.l. Naibaho, Sihotang, Sinambela, Sihite); Sirajasumba (Sihombing. Simamora); Sirajasobu (Sitompul, Hasibuan); Naipospos (a.l. Marbun, Hutauruk, Simanungkalit).

Disebut moiety dalam khasanah antropologi, dua belahan sosial Batak itu memiliki hubungan kekerabatan. Secara tradisi belahan Tateabulan adalah hula-hula, pemberi istri bagi belahan Isumbaon sebagai boru, penerima istri. 

Hal itu terbukti pada misalnya Raja Sisingamangaraja XII, turunan Isumbaon. Tiga dari lima orang istrinya adalah turunan Tateabulan yaitu boru Sagala, boru Situmorang, dan boru Siregar.

Jejak geografis moiety Batak Toba itu terbaca di Samosir. Gunung Pusukbukit itu dibelah dua secara geografis. Belahan barat adalah wilayah Tateabulan. Sedangkan belahan timur menjadi wilayah Isumbaon. 

Pulau Samosir juga dipotong dua. Batasnya adalah garis imajiner yang ditarik dari satu titik di Palipi (barat) sampai ke satu titik di Tomok (timur). Penggalan utara adalah wilayah Isumbaon, khususnya turunan Naiambaton. Sedangkan penggalan selatan menjadi wilayah turunan Raja Lontung. 

Samosir dengan demikian menjadi unik dibanding daerah lain di Kaldera Toba. Di wilayah inilah dua belahan Batak Toba meninggalkan jejak batas-batas geografis. Tak banyak orang yang mengetahui fakta tersebut. 

Jejak Supervolcano: Padang Sabana dan Tao Sidihoni dengan latar belakang Gunung Pusukbukit dan Danau Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)
Jejak Supervolcano: Padang Sabana dan Tao Sidihoni dengan latar belakang Gunung Pusukbukit dan Danau Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)

Jejak Geologis Utama Supervolcano

Ada tiga jejak geologis utama supervolcano, letusan maha dahsyat Gunung Toba 74,000 tahun lalu. Pertama, tentu saja, danau Kaldera Toba; kedua, Pulau Samosir di tengah danau; ketiga, Gunung Pusukbukit di sisi barat danau, terpisah dari Pulau Samosir oleh Terusan Tanoponggol, Pangururan. 

Tiga jejak geologis utama itu berada di wilayah Kabupaten Samosir. Danau Kaldera Toba terbentuk sempurna pasca supervolcano Gunung Toba, menyusul tiga letusan ribuan tahun sebelumnya.

Badan gunung amblas seluruhnya menjadi dasar danau kaldera. Lalu akibat dorongan magma, 30,000 tahun lalu badan gunung itu muncul kembali ke permukaan. Itulah Pulau Samosir.

Saat proses pengangkatan badan Pulau Samosir, terjadi dua retakan besar di punggungnya. Kedua retakan itu kini menjadi dua danau kecil yang eksotis: Sidihoni dan Aek Natonang. 

Aslinya Pulau Samosir itu adalah semenanjung yang berpangkal di kaki Gunung Pusukbuhit. Tahun 1907 Pemerintah Kolonial Belanda menggali pangkal semenanjung itu menjadi sebuah terusan. Kini dikenal sebagai Terusan Tano Ponggol, Pangururan. Sejak itu Pulau Samosir sempurna dikelilingi air danau.

Gunung Pusukbuhit (1,972 mdpl) sendiri adalah kubah lava. Terbentuk sekitar 54, 000 tahun lalu, atau 20 tahun setelah supervolcano, struktur internal gunung tersebut terbentuk dari batuan beku vulkanik. Terutama jenis batuan andesit, da6sit, dan metasedimen (endapan).

Tergolong gunung api Tipe B (tak meletus lagi sejak 1600 M), di lereng timur-laut Pusukbuhit terdapat sumber air panas, hasil energi panas bumi di dalam perutnya. Tempat itu kini dikembangkan sebagai obyek wisata pemandian air hangat (hot spring). 

Patung Yesus Kristus Penyelamat di Bukit Sibeabea Samosir, Kaldera Toba (Kompas/Nikson Sinaga)
Patung Yesus Kristus Penyelamat di Bukit Sibeabea Samosir, Kaldera Toba (Kompas/Nikson Sinaga)

Wisata Ekologi Manusia Batak

Samosir memiliki hampir semua kekayaan ekologi manusia Batak Kaldera Toba. Mulai dari keragaman geologis, biologis dan budaya serta interaksi ketiganya yang membentuk ekologi manusia Batak. Keseluruhan itu dapat disaksikan dan dialami sebagai obyek wisata.

Destinasi-destinasi wisata ekologi manusia Batak kaldera terindah ada di Samosir. Mulai dari wisata alam, budaya, dan religi. 

Wisata alamnya sangat variatif. Mulai dari wisata gunung (Pusukbuhit), bukit (Holbung, Sibeabea, Beta), lembah persawahan (Limbong-Sagala, Harian, Bonandolok, Simbolon), air terjun (Efrata, Sitapigagan), padang sabana (Sidihoni, Aek Natonang), pantai danau (Parbaba, Batuhoda, Waterfront Pangururan), sampai wisata terusan pembentuk Pulau Samosir (Tanoponggol).

Rentang wisata budaya juga luas. Mulai dari wisata budaya megalitikum (Sarkofagus Tomok, Batu Persidangan Siallagan, Megalit Pagarbatu), kampung asli (Sianjurmulamula, Tomok, Siallagan, Lumban Suhi-suhi) sampai seni pertunjukan Gondang Bolon dan kerajinan tenun ulos Batak. Tak lupa juga budaya makan berupa kuliner khas seperti arsik (ikan), naniura (ikan), natinombur (ikan), napinadar (ayam), saksang (babi).

Kekayaan biologis atau hayati Samosir juga tak kalah penting. Kebun andaliman, kopi, dan mangga khas Kaldera Toba tersebar di sana. Begitupun hewan endemik Toba yaitu ihan Batak dan kambing panorusan samosir. Kambing samosir berwarna putih total ini memang endemik Samosir, hanya ada di daerah itu. 

Obyek wisata religi juga menjadi keunggulan Samosir. Sejumlah situs agama asli di Pusukbuhit, semisal Batu Hobon, Batu Sawan, dan Batu Partonggoan, adalah loka wisata religi bagi penganut Ugamo Malim, religi asli Batak.

Untuk umat Katolik ada Gua Maria Nagok Asi di Palipi dan Gua Maria Pulau Tulas Siboro. Terbaru, untuk semua umat Kristen, ada Patung Yesus Sibeabea -- tertinggi (61 m) di dunia.

Secara keseluruhan destinasi wisata tersebut merepresentasikan sejarah, geologi, biologi (hayati) , dan budaya Kaldera Toba. Atau dengan kata lain memberi gambaran utuh tentang ekologi manusia Batak Kaldera Toba.

Keindahan panorama Desa Bonandolok, Samosir (Foto: Youtube Jhonny Siahaan) 
Keindahan panorama Desa Bonandolok, Samosir (Foto: Youtube Jhonny Siahaan) 

Hasahatan

Paparan di atas menegaskan posisi Samosir sebagai jantung, sentrum Kaldera Toba. Maknanya bukan saja Samosir merupakan kiblat dari delapan penjuru kawasan Kaldera Toba.

Tetapi juga unsur-unsur pokok ekologi manusia Batak lengkap ada di sana. Mulai dari situs cikal-bakal etnis Batak, jejak geografis dua belahan genealogis Batak, jejak utama geologis supervolcano Gunung Toba, serta warisan sejarah dan keragaman geologis, biologis, dan budaya Batak. 

Semua itu menjadikan Samosir sebagai representasi terbaik untuk Kaldera Toba. Sehingga, dalam konteks wisata, seseorang tidak sah berkunjung ke Kaldera Toba bila tak menjelajah Samosir. Sebaliknya seseorang cukup datang ke Samosir saja dan dengan itu dia boleh mengaku telah menjelajahi Kaldera Toba.

Masalahnya, potensi wisata Samosir yang sedemikan dahsyat itu belum digarap dan dikembangkan secara terpadu. Satu dan lain obyek atau destinasi wisata itu tumbuh dan dikembangkan secara terpisah-pisah tanpa narasi ( story telling) pengikat. 

Kerangka ekologi manusia Batak Kaldera Toba sejatinya adalah pengikat yang pas untuk keseluruhan wisata geologi, biologi, dan budaya Samosir itu. Narasi ekologi manusia akan menjadi kekuatan setiap obyek wisata itu. Sekaligus narasi, story telling itu menjadi daya tarik kuat yang mengundang semakin banyak wisatawan untuk datang dan datang lagi ke sana. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun