Tapi jika suporter yang hiperreaktif, dampak negatifnya tak selalu terduga, apalagi bila reaksi berlebih hanya berupa ujaran kemarahan dan ancaman. Lain soal jika suporter menyerang langsung pemain lawan. Dampaknya bisa merugikan tim tang didukung, mulai dari kena denda sampai hukuman laga tanpa penonton di tempat netral.
Hal terakhir inilah yang agaknya sempat dirarget BFA dan Timnas Bahrain. Â Pihak BFA bersurat ke AFC dan FIFA agar laga tandangnya melawan Timnas Indonesia tidak dilakukan di Jakarta, tapi di tempat lain yang netral. Alasannya, BFA mengkhawatirnya keselamatan para pemain dan official Timnas Bahrain, mengingat adanya ancaman pembunuhan dari suporter Indonesia.
Pihak BFA sejatinya tahu permintaannya tak punya alasan kuat. Tapi BFA tetap minta pindah venue laga untuk mendapatkan efek psywar. Target BFA adalah melemahkan mental pemain Timnas Indonesia sebagai tuan rumah. Tuan rumah diharapkan "kena mental" bila diterpa isu kemungkinan tidak bermain di "rumah sendiri".Â
Dalam kasus ini hiperreaksi suporter Indonesia telah dimanipulasi oleh BFA. Ujaran-ujaran suporter Indonesia yang tak nyata, bukan realitas empirik, dimanipulasi menjadi simulakrum, sesuatu yang disebut Jean Baudrillard (1981) tak nyata tapi disimulasikan seakan kenyataan.Â
Betul ancaman pembunuhan diujarkan satu dua suporter Indonesia. Tapi ujaran seperti itu lebih merupakan ekspresi kemarahan ketimbang niatan terencana untuk membunuh. Namun BFA menggoreng terus-menerus ujaran itu untuk menciptakan hiperrealitas, sesuatu yang sejatinya taknyata tapi dipercaya sebagai kenyataan karena batas antara keduanya dibuat tak jelas.
Apakah aksi manipulatif Bahrain berhasil? Tidak, dia gagal. Â Laga Indonenesia versus Bahrain tetap akan digelar di Jakarta.Â
Tapi ada sedikit keberhasilan. Â AFC, juga FIFA, memberi catatan pada Indonesia agar bisa menjaga keamanan Timnas Bahrain khususnya dari kemungkinan kekerasan oleh suporter Indonesia.Â
Opini kalangan pengamat sepakbola nasional juga terbelah. Di satu sisi ada yang mengkritik Timnas Bahrain cemen, cengeng, atau takut kalah. Di sisi lain ada yang mengkritik suporter Timnas Indonesia tak dewasa dan sauvinistik.
Hiperreaksi Suporter sebagai Kritik
Sesuai dengan karakter kerumunan  reaktif pada komunitas imajiner suporter, mustahil untuk mengendalikan reaksi suporter sepanjang dan seusai laga sepakbola. Suporter itu bukanlah pemandu sorak yang gerak dan teriakannya mengkuti koreigrafi baku. Aksi suporter itu sepenuhnya spontan dan situasional. Terlebih di dunia maya.
Jadi ketimbang mencela ujaran-ujaran hiperreaktif suporter Timnas Indonesia di medsos, bukankah lebih bijak memaknai hal itu sebagai kritik keras dan frontal terhadap aksi-aksi tidak sportif dalam sepakbola? Perhatikan bahwa suporter Indonesia hanya murka bila Timnas Indonesia, sebagai representasi bangsa, dicurangi wasit dan lawan.Â
Karena itu daripada mengecam suporter Timnas Indonesia yang hiperreaktif itu sebagai tak dewasa,  tidakkah lebih berguna membenahi persepakbolaan Asia agar lebih dewasa? Sekurang-kurangnya agar setiap laga di level Asia  konsekuen pada kaidah-kaidah "permainan yang adil" (fair play)?