Masalah-masalah tersebut tidak saja mengakibatkan kemerosotan mutu lingkungan alam. Tetapi, sebagai dampak lanjut, juga menimbulkan gejala peminggiran sosial dan kemerosotan mutu hidup.
Umat manusia, demikian ensiklik itu, memerlukan pertobatan ekologis sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Inti tobat ekologis itu adalah pembalikan sikap dan tindakan manusia dalam ekosistemnya, dari pola-pola eksploitatif ke pola-pola berkelanjutan.
Krisis Ekologi Manusia Kaldera Toba
Kaldera Toba, tempat Patung Yesus Sibea-bea berada, adalah suatu bentang ekologi manusia yang khas. Dia adalah hasil interaksi triangular antara unsur-unsur keragaman geologis, keragaman hayati, dan keragaman sosio-budaya setempat.
Pada mulanya adalah keragaman geologis. Tiga letusan pertama Gunung Toba -- berturut-turut 1.3 juta, 840,00 tahun, dan 501,000 tahun lalu -- disusul letusan terdahsyat sejagad 74,000 tahun lalu telah menghasilkan unsur dan struktur batuan serta bentang alam khas Kaldera Toba.
Tatar kaldera itu adalah kombinasi singkapan batuan dasar asli superbenua Gondwana (550-250 juta tahun lalu) dan tutupan aneka jenis batuan vulkanik yang cenderung tandus.Â
Pasca letusan keempat, selang ribuan atau puluhan ribu tahun kemudian, bersemilah keaneka-ragaman hayati di atas tanah Kaldera Toba. Aneka flora dan fauna tumbuh dan berkembang di sana. Mula-mula rerumputan dan serangga, kemudian pepohonan dan hewan besar.
Akhirnya, sekitar 1000 tahun lalu, datanglah komunitas manusia Batak. Komunitas itu, dengan mendaya-gunakan energi sosial-budayanya, kemudian mengubah struktur bentang alam Kaldera Toba dalam rangka adaptasi ekologi.
Istilah "adaptasi ekologi" menunjuk pada ikhtiar manusia, dengan kekuatan budayanya, mengelola dan mengolah keragaman geologis dan hayati di sekitarnya sebagai basis kehidupan sosial-ekonomi. Hasilnya adalah suatu ekologi manusia dengan suatu ciri inti budaya yang khas.
Dalam konteks Kaldera Toba sebagai ekologi manusia, aslinya manusia Batak, inti budaya itu adalah pertanian padi sawah lembah (hauma). Lalu di lapis luarnya ada kebun pekarangan (porlak), pertanian lahan kering (huma), dan hutan adat (harangan). Serta perikanan danau, tentu saja.
Sekurangnya sampai abad ke-19 pola adaptasi ekologi manusia Batak itu masih bersifat konservatif. Tiga komponen ekologi manusia, yaitu kekayaan ekologis, hayati, dan budaya, saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses ko-evolutif. Hasilnya adalah rona ekologi manusia yang memenuhi kaidah-kaidah kelestarian dan keberlanjutan.Â