Sepatu kulit hitam yang sudah tua itu adalah bentuk kritik tajam kepada para pejabat Gereja Katolik, pejabat pemerintahan NKRI, dan kelompok elite sosial di Indonesia. Khususnya kepada mereka yang senang membeli, mengenakan, dan memamerkan sepatu-sepatu branded dengan harga puluhan sampai ratusan juta rupiah per pasangnya.
Pertanyaan kritisnya di sini, ketika Paus Fransiskus sudah berkeliling dunia dengan sepatu hitam tuanya untuk membangun perdamaian umat manusia, lalu apa yang dilakukan para pejabat, pengusaha kaya, dan pesohor dengan sepatu-sepatu mewahnya? Atau secara lebih spesifik, apakah sepatu-sepatu mewah itu telah membawa mereka untuk menguatkan iman, persaudaraan, dan belarasa ke tengah masyarakat Indonesia?
***
Dalam suatu konferensi pers Presiden AS George E. Bush dan PM Irak Nouri Al-Maliki di Bhagdad pada 14 Desember 2008, wartawan Irak Muntazer Al Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Presiden Bush. "Ini ciuman perpisahan dari rakyat Irak, anjing!" teriaknya sambil melemparkan sebelah sepatunya. "Ini dari janda-janda, yatim-piatu, dan semua yang terbunuh di Irak!" teriaknya lagi sambil melemparkan sepatu yang sebelah lagi.
Kedua sepatu itu tak mengenai Presiden Bush. Tapi pesannya jelas tersampaikan: kemuakan dan penolakan terhadap imperialisme Amerika yang menyengsarakan rakyat Irak. lemparan sepatu Zaidi adalah kritik keras sekaligus kepada pemerintah AS dan pemerintah Irak.
Paus Fransikus tidak melemparkan, dan tidak akan pernah melemparkan sepatunya sebagai bentuk kritik kepada pimpinan Gereja Katolik ataupun pimpinan suatu negara.Â
Bapa Paus cukuplah setia mengenakan sepatu kulit hitam tuanya dalam pertemuan dengan para pemimpin nasional dan pemimpin dunia. Hal itu seharusnya sudah menjadi kritik yang menohok keras kelompok elite agama, pemerintahan, dan sosial-ekonomi yang tidak pernah puas dengan berpasang-pasang sepatu mewahnya.
Dengan mengenakan sepatu kulit hitam tua, Paus Fransiskus sedang mengatakan jika kita datang menggalang persaudaraan dan belarasa ke tengah masyarakat terpinggirkan, maka datanglah secara bersahaja, dengan tampilan yang empatik, sama seperti umumnya tampilan masyarakat itu. Penampilan seperti itu hendaknya menjadi pilihan jalan hidup kepemimpinan, bukan pencitraan sesewaktu demi meraih ambisi-ambisi sosial-ekonomi-politik yang pada ujungnya mencekik balik rakyat pinggiran. (eFTe)