Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paus Fransiskus: Ada Setan di Saku Kita

6 September 2024   16:59 Diperbarui: 8 September 2024   06:16 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus memberi wejangan kepada para uskup, pastor, bruder, suster, dan seminaris di Katedral Jakarta, 4 September 2024  (tribunnews.com)

"Setan selalu ada di dalam saku kita. Apakah Anda percaya?" -Paus Fransiskus, Katedral Jakarta, 4 September 2024

"Ya, aku percaya."

Aku tak menemukan satu alasan pun untuk tak percaya pada ucapan Bapa Paus Fransiskus itu. Aku percaya dalam arti yakin secara imani. Sebab indraku tak mampu mencandra faktanya.

Ucapan itu, dengan nada jenaka, diujarkan Bapa Paus saat memberi siraman rohani kepada para uskup, pastor, bruder, suster, dan seminaris di Gereja Katedral Jakarta pada hari Rabu, 4 September 2024.

Bapa Suci Fransiskus menyampaikannya dalam bahasa Italia. Karena tak mengerti, mayoritas hadirin baru tergelak setelah Pastor Markus Solo, SVD menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.  Tawa yang telat itu dibalas Paus pula dengan tawa geli. 

Kendati dalam nada canda, ucapan Paus itu mengandung makna yang mendalam. Juga memiliki relevansi kuat dengan konteks sosial Indonesia hari ini.

"Kamu tau apa yang memecah belah? Semua itu adalah kerja setan. Jadi berhati-hatilah." Bapa Paus menambahkan pada bagian lain wejangannya.

Paus sedang berbicara tentang belarasa. Salah satu dari tiga nilai perdamaian, yaitu iman (faith), persaudaraan (fraternity), dan belarasa (compassion) yang diusung Paus dalam  lawatan apostoliknya ke Indonesia.  

Tiga nilai itu semacam tritunggal nilai pedoman hidup.  Iman tampak dari buahnya yaitu persaudaraan.  Persaudaraan sejati tampak dari buahnya pula yaitu belarasa. 

Implikasinya sederhana. Tidak pantas aku mengaku beriman tapi tak menerima sesamaku sebagai saudara dan, dengan demikian, menolak berbagi dengan mereka.   

"Tidak ada dua tetes air yang sama," kata Paus.  Karena itu dasar persaudaraan bukanlah persamaan, melainkan perbedaan. Seperti halnya dua tetes air yang menyatu walau mereka berbeda.

Itulah inti belarasa menurut Paus Fransiskus. Mendekatkan diri satu sama lain; menyingkirkan segala penghalang untuk menyentuh mereka yang tersisihkan.

Setan dalam Saku Itu Bernama Egosentrisme

"Yang membuat dunia bergerak maju bukan perhitungan kepentingan pribadi yang umumnya berujung pada kerusakan ciptaan dan pemecah-belahan komunitas, melainkan persembahan kasih kepada sesama."   Paus Fransikus menunjukkan dengan tegas, "setan di dalam saku" itu adalah egosentrisme.

Disebut sebagai "setan dalam saku" karena mengambil sikap egosentrisme itu semudah mengambil barang di dalam saku.  Bahkan tidak saja mudah, dia selalu ada dalam saku. Itu soal pilihan saja: mengambilnya atau mengabaikannya.  

Egosentrisme itu adalah sifat anti-kasih yang berujung pada ketakadilan.  "Opus justitiae pax," kata Paus dalam pidatonya di Istana Negara  (4 Sptember 2024).  "Perdamaian adalah karya dari keadilan".  Ketidakadilan yang berakar pada sikap egosentrime itu tak akan pernah berujung pada perdamaian atau kedamaian.

Egosentrisme, "setan dalam saku" itu selamanya akan merusak keutuhan ciptaan (alam fisik) dan komunitas (alam sosial). Kerusakan yang berimplikasi konflik sosial tak berkesudahan. 

Bukankah itu yang kini sedang terjadi di negeri ini?  Lihatlah bagaimana sumberdaya alam dikuras untuk menggembungkan saku sekelompok kecil pemodal atau penguasa, dua entitas yang selalu bersekutu. 

Uang (harta) dan kuasa (tahta) menumpuk (terakumulasi) di saku mereka. Itu menjadi "setan"  bila digunakan hanya untuk menunjukkan kemewahan dan kemegahannya diri sendiri. 

Hal itu menjadi ironi karena pada waktu bersamaan mayoritas warga negara yang berkekurangan hanya bisa ternganga sebagai penonton.  Mereka adalah warga terpinggirkan yang haus sentuhan kasih, persaydaraan dan belarasa.

Memang ada juga kesempatan bagi warga marjinal itu mendapat setetes rejeki. Tapi itu sering berupa sedekah yang diberikan orang kaya dari kelimpahannya, sambil "memandang rendah mereka dari menara rasa aman." Sebagaimana jamak pula dipertontonkan lewat media sosial. 

Untuk kelompok minoritas berharta dan bertahta semacam itu, menurut Bapa Paus, berlaku anekdot orang kaya Buenos Aires. Seseorang yang selama hidupnya menjadi kaya raya karena selalu mengeruk harta dari hak orang lain.  Warga kota kemudian menyebutnya orang yang malang.  Karena dia mendapatkan begitu banyak harta dari orang lain, tapi tak bisa menutup peti jenazahnya sendiri.

Anekdot itu kurang lebih serupa dengan ungkapan yang hidup dalam masyarakat kita, "Harta tak dibawa mati."  Itulah upah untuk orang yang bersikap egosentris.  Pergi (mati) sebagai orang miskin, meninggalkan orang-orang yang menjadi miskin karena ulahnya.

Biarlah Pulau-pulau Bersuka-cita

"Letentur insule multe." Biarlah semua pulau ikut bersuka-cita.  

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh lautan.  Berjejer dari barat sampai ke timur.

Pertanyaannya apakah semua pulau di Nusantara ini telah merasakan suka-cita yang sama?  Atau apakah semua pulau telah menyanyikan lagu gembira yang sama?

Indonesia masih dirundung ketimpangan sosial-ekonomi antar pulau.  Antara pulau Jawa dan luar-Jawa; antara pulau-pulau di bagian barat dan di bagian timur; antara pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil dan terpencil. Jawa, barat, dan pulau besar identik dengan kemakmuran sedangkan luar-jawa, timur, danbpulau kecil terpencil identik dengan kemiskinan. 

Menurut Paus Fransiskus, Indonesia kaya-raya dalam dua hal yaitu keaneka-ragaman sumberdaya alam dan keaneka-ragaman sosial-budaya. Sinergi antara dua kekayaan itu diyakini  akan berujung sekaligus pada kelestarian sumberdaya alam dan pemerataan kemakmuran antar suku, agama, ras, dan golongan sosial di seluruh pulau.

Kuncinya, sekali lagi, adalah konsistensi antara tiga nilai dalam praktiknya yaitu iman, persaudaraan, dan belarasa.  Tidak saja di tingkat individu warga masyarakat, tetapi juga di tingkat organisasi pemerintahan, bisnis, dan komunitas.

Hanya dengan jalan itu, negeri ini akan tiba pada kondisi letentur insule multe.

Dengan satu syarat, ingatlah akan nasihat Paus Fransiskus, "Setan selalu ada di dalam saku kita." Berhati-hatilah, jangan sampai salah rogoh. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun