Tapi baru duduk sejenak, suatu masalah besar menerpa. Sebuah kipas angin besar berdiri tepat di hadapan kami. Sambil bergerak menggeleng-geleng, kipas itu meniup udara ruang tunggu menjadi semacam angin haluan yang menerpa langsung raga tua kami.
Itu menjadi derita. Sebab suhu udara di ruang tunggu itu sejatinya terbilang gerah, memaksa peluh merembes keluar dari pori-pori kulit keriput. Tiupan kipas angin itu terasakan seolah membarakan arang di pemanggang daging. Kami berdua seakan menjadi semacam, katakanlah, kambing guling.
Ada yang lebih menyiksa. Angin kipasan itu meniup-niup korong, bulu hidungku yang sedang dirundung pilek ringan, tanda mulai lelah. Bersin-bersin dahsyat tak terhindarkan lagi; menguras enerji, liur, dan ingus. Kubayangkan, andai tiupan kipas seperti itu ditembakkan ke lubang hidung seorang tersangka koruptor, pasti dia langsung mengaku karena tak tahan siksaan bersin.
"Kita pindah ke situ saja." Aku menunjuk kursi kosong dekat pintu masuk peron. Lagi, kami pasangan lansia menyeret koper ke sana, lalu duduk di kursi lowong. Di situ kami terbebas dari teror kipas angin.Â
Duduk manis, sambil sesekali srat-srot lembut di hidung pilek aku mencoba menikmati bangunan stasiun tua ini. Mulai dibangun pada 1911, stasiun ini selesai dan diresmikan tahun 1914. Jadi usianya tahun ini sudah seabad lebih, tepatnya 110 tahun.
Tapi Stasiun Tawang bukan yang pertama di Semarang. Dia dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) untuk menggantikan fungsi Stasiun Besar Samarang NIS, Kemijen (1864) -- tertua bersama stasiun-stasiun Alastua, Brumbung, dan Tanggug -- yang kerap lumpuh dilanda banjir rob.Â
Tapi Stasiun Tawang, hasil rancangan Ir. Louis Cornelis Lambertus Willem Sloth-Blaauboer, ini sebenarnya setali tiga uang dengan Stasiun Samarang. Berada di atas tanah berawa di pantai utara Semarang, dengan ketinggian 2 mdpl, stasiun ini menjadi langganan banjir rob juga, dari awal berdirinya sampai hari ini.
Sebagai langkah mitigasi, Pemerintah Kota Semarang memudian (1998) membangun polder, kolam penampuangan air di depan stasiun. Dengan luasan 1 ha, kolam itu diproyeksikan menampung limpasan air dari daerah tangkapan seluas 70 ha.Â
Berhasilkah? Tidak juga. Terakhir, bulan Maret 2024 lalu, Stasiun Tawang kembali terendam banjir rob. Operasional stasiun sempat lumpuh. Begitulah perilakunya sejak Zaman Belanda.
Selain ancaman banjir rob, stasiun ini sebenarnya juga menyimpan risiko amblas. Soalnya bangunan stasiun berdiri di atas tanah rawa sangat labil. Memang NIS dulu telah menyiasatinya dengan membangun fondasi atau landasan plat beton di bawah tanah -- mirip fondasi cakar ayam temuan Prof. Sedijatmo (1961). Tapi berapa tahun lagi plat beton bikinan Belanda itu masih kuat menopang bangunan di atasnya?