Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Siri Na Pacce di Balik Kapak Algojo dan Perawan Vestal

10 Juli 2024   14:29 Diperbarui: 12 Juli 2024   09:20 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul depan novel "Kapak Algojo dan Perawan Vestal" | Dokumen Pribadi

"Pada malam euforia keruntuhan Tembok Berlin, di sebuah kamar di sudut kota itu, seorang lelaki mengayunkan bilah kapak algojo menebas leher seorang lelaki perampas kehormatan perawan vestal. Dua lelaki itu adalah sahabat yang dipisahkan siri na pacce sejak masa mudanya di Tanah Turatea, Jeneponto Sulawesi Selatan."

Adegan mengerikan dalam novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal (KAPV) itu menjadi titik tengah dalam sebuah perjalanan  siri na pacce,  nyawa untuk kehormatan, sejak dari Jeneponto sampai ke  Berlin lalu kembali ke Jeneponto.  

Siri na pacce, rasa malu yang pahit, adalah harga diri ternistakan yang harus ditebus dengan nyawa penista.  Nilai budaya Makasar/Bugis ini tidak pudar ditelan ruang dan waktu.  Tetap hidup melintasi luasnya ruang dan panjangnya waktu sejak dari Jeneponto sampai ke Berlin dan Paris.

Craen Mark, Segara, dan Flora adalah generasi yang saling beda. Mark adalah penetak kapak algojo ke leher mantan teman baiknya, ayah Segara; Flora adalah anak gadis Mark satu-satunya; Segara dan Flora menjadi dua sejoli yang dibakar cinta berbalut benci.

Akar siri na pacce itu adalah pertarungan hidup mati antara ayah Mark dan kakek Segara di masa lalu.  Ayah Mark tewas. Hati Mark terbakar. Dendamnya semakin berkobar karena kalah dalam memperebutkan cinta seorang gadis Turatea, kelak menjadi ibu Segara. 

Puncak kemarahan, sekaligus kehinaan, Mark terjadi ketika kehormatan "perawan vestal" bentukan dan pingitannya jatuh kepada ayah Segara. Itu adalah titik tiada berampun lagi.

Perawan vestal dalam tradisi Roma Kuno adalah gadis perawan penjaga nyala api Dewi Vesta, api pelindung Roma dari marabahaya. Perawan vestal dipingit sejak usia 6-7 tahun dan wajib menjadi pendeta perempuan yang hidup murni, selibat, dalam waktu 30 tahun kemudian.  Jika dia melanggar kaul hidup murni tanpa sentuhan lelaki sebelum 30 tahun, maka nyawanya menjadi taruhan.

Bagi Mark, tidak ada penghinaan yang lebih besar dari kehilangan "perawan vestal" pingitannya, sosok bentukan yang menjadi obsesi cintanya. Tidak ada pula harga lain yang harus dibayar ayah Segara, kecuali harus kehilangan nyawanya.  Itulah alasan sebilah kapak algojo menetak batang lehernya.

Harusnya semua selesai sampai di situ. Tapi Mark adalah tipe manusia yang suka memperpanjang jalan siri na pacce.  Dia menabur benih siri dengan cara membiarkan Segara menjadi saksi mata tebasan kapak algojo pada leher ayahnya. Benih siri na pacce itu tumbuh pada diri Segara lalu, setelah cukup umur, dia mencari Mark di Eropa untuk menuntaskannya.

Maka kisah dalam novel ini sejatinya adalah perjalanan siri na pacce, pemulihan kehormatan atau martabat diri dan keluarga Segara. Itu sebuah perjalanan yang disertai kelebatan pedang dan desing pelor, lalu darah yang menetes atau muncrat, dan tentu saja nyawa-nyawa melayang.  Khususnya nyawa para pembunuh bayaran yang mendewakan uang.

Tapi juga dendam beranyam dengan cinta antara ayah dan anak gadisnya, Mark dan Flora, serta pada saat yang sama antara Flora dan Segara, lelaki pemburu nyawa ayahnya. Itu sebuah cinta yang berbalut rahasia masa lalu, apakah Flora dan Segara itu kakak-adik seibu atau sebapak?

Pada ujungnya novel ini menarasikan bahwa pemanjangan jalan siri na pacce pada akhirnya tidak akan membunuh siapapun kecuali diri sendiri.  Makam Raja-Raja Binamu di Tanah Turatea Jeneponto menjadi saksi, siapa yang harus kehilangan nyawanya karena memburu nyawa sesamanya.  Mark atau Segara, atau justru Flora?

***

Barangkali KAPV adalah satu-satunya novel gotong-royong 33 orang penulis -- mayoritas Kompasianer -- yang pernah ada. Tigapuluh tiga orang yang tergabung dalam "Komunitas Secangkir Kopi Bersama" itu, di bawah kordinasi Kompasianer Widz Stoops dan kurasi Kompasianer Khrisna Pabicahara, secara bergilir menulis bab demi bab novel tesebut dalam waktu 175 hari tiga tahun lalu. 

Tantangan gotong-royong penulisan novel ini terletak pada kemampuan setiap orang untuk mendamaikan egoisme, apresiasi, dan empatinya.  Seorang penulis harus menulis satu bab berdasar egonya, tapi pada saat yang sama harus konsisten dengan bab-bab sebelumnya yang ditulis orang lain.  Dengan kata lain dia harus mengapresiasi karya temannya agar bisa menulis bab yang menjadi bagiannya.

Tapi pada saat yang sama dia juga harus berempati dengan menyediakan "lubang jarum" atau "titian serambut dibelah tujuh" pada perkisahannya. Lubang atau titian itu harus ada sebagai jalan masuk bagi penulis berikutnya, sekaligus jalan keluar untuk menuliskan bab bagiannya secara konsisten.

Tapi jangan berpikir bahwa semua baik-baik dan lancar-lancar saja.  Khususnya pada soal konsistensi waktu, ruang, dan relasi-relasi genealogis serta sosiologis antar-tokoh novel. Tiba-tiba muncul penjahat baru, atau perempuan misterius, atau lompat ke tempat yang tak terbayangkan sebelumnya.  

Karena itu bisa dibayangkan betapa kurator novel ini, Daeng Khrisna Pabichara, harus mengerahkan segenap ilmu dan energinya untuk menata-ulang struktur dan bahasa novel ini menjadi sebuah perkisahan yang utuh. Bahwa dia berkali-kali disergap darah tinggi dalam bulan-bulan penyuntingan, bukan kabar luar biasa lagi.

Saya pikir, novel KAPV ini menjadi yang pertama membawa tema siri na pacce ke dalam sebuah perjalanan lintas ruang dan waktu, dengan melibatkan pihak-pihak yang tak tahu-menahu tentang filosofi atau nilai budaya Makasar/Bugis, Sulawesi Selatan itu. 

Kisah dalam novel ini menunjukkan bahwa nilai tradisional  siri na pacce, dalam pemaknaan negatif dan positif, bisa tetap bersemayam di kepala manusia-manusia modern, bahkan mereka yang sudah terbilang sebagai warga dunia.

Jika ada perbedaan maka itu mungkin pada cara menuntaskannya. Dulu lewat pertarungan satu lawan satu, tangan kosong atau pakai senjata tajam, hingga salah seorang tewas. Kini, seperti dituturkan dalam novel ini, sudah melibatkan jaringan atau organisasi pembunuh bayaran, dengan pertarungan ala film-film aksi Hollywood.

Apapun itu, mengingat nilai-nilai yang dieksplor para penulisnya, walau dengan segala residu inkonsistensi gaya bahasa antar-bab yang timbul karena perbedaan penulis, novel terbitan Onepeach Media ini sangat layak dibaca sebagai bahan pelajaran budaya. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun